Senin, 03 November 2014

TASAWUF

pengantar.

Menurut KH. Said Aqil Siraj, Secara bahasa,
tasawuf paling tidak dinisbatkan kepada lima akar kata,

Tasawuf bukan akhlaq. Memang seorang sufi harus punya akhlaq al-karimah. Tetapi yang punya akhlaq al-karimah
belum tentu sufi. Sebab akhlaq masih melihat suluk, dhohir, perilaku. Tasawuf juga bukan ilmu hikmah / ilmu perdukunan.

Tasawuf juga tidak ada kaitannya dengan ﻛَﺜْﺮَﺓُ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺓِ ﻭَ ﺍﻟﻨَّﻮَﺍﻓِﻞِ
( memperbanyak ibadah ). Tidak ada kaitan dengan jumlah bilangan (kuantitas) ibadah.

Orang pertama yang mendapat gelar sufi adalah Jabir bin Hayyan ( w. 161 H) penemu teori aljabar (matematika) dia
adalam murid dari Imam Ja’far as-Shodiq. Dia seorang jenius,
tiap malam tidak kurang 100 rokaat tahajud, setiap akan
observasi selalu minta izin gurunya. Beliau hidup di Kufah.

Yang kedua adalah Abdul karim bin Usman biasa dipanggil Abda’ (w 165). Dia seorang vegetarian, tidak pernah
makan yang mengandung ruh. Dia seorang zuhud, cinta pada
semua orang, tidak memiliki kebencian kepada siapapun. Yang
ketiga yang mendapat gelar sufi adalah Abu Hasyim al-Kuufi, dia
pernah menjadi guru dari seorang mujtahid yaitu Sofyan ats- Tsauri.

Asal kata tasawuf,

Ada pendapat yang menyebutkan, bahwa kata tasawuf (
ﺗَﺼَﻮَّﻑَ ) berasal dari ﺻَﻔَﺎﺀٌ artinya bening, bersih, jernih . Hal
ini seperti yang disebutkan oleh Imam Abu Bakar al-Kalabadzi
dalam kitabnya al-Ta’rif bi Mazhab Ahl al-Tasawuf. Dikatakan demikian, karena tasawuf mempunyai tujuan “membersihkan manusia dari kotoran sifat kemanusiaan” ﻟِﺼِﻔَﺎﺀِ ﺍﻟْﺎِﻧْﺴَﺎﻥِ ﻋَﻦْ
ﻛَﺬُﺭَﺍﺕِ ﺍﻟْﺒَﺸَﺮِﻳَّﺎﺕِ . Secara bahasa hal ini tidak benar, meski
secara etimologi benar. Karena orang yang sudah bersih – jika berasal dari kalimat ﺻَﻔَﺎﺀٌ - adalah ﺻَﻔَﺎﺉِ bukan ﺻُﻮْﻓِﻰ artinya orang yang bersih.

Kedua , tasawuf merupakan kelanjutan dari ahlu ash-shuffah, yaitu para sahabat muhajirin yang hijrah ke Madinah, di Madinah mereka tidak mempunyai kerabat dan sahabat akhirnya mereka memilih bertempat tinggal
di serambi masjid Nabawi, disana mereka memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah, diantara para sahabat tersebut adalah Abu Dzar Al-Ghifari, seperti
halnya ash-shafa, secara substansi memang benar, namun dari sisi bahasa kata ahlu ash-shuffah tidak cocok,
karena jika kata sufi dinisbatkan kepada kata ahlu ash-shuffah mestinya adalah shuffiyun, dengan tasydid pada huruf shad , bukan sufi.

Ketiga, menurut Kang Said diambil dari nama
seorang penjaga Ka`bah pada jaman Jahiliyah yang bernama Shuufah, nama asli Shuufah ini adalah Al-Ghauts Bin Mur, diceritakan pada musim panas yang luar biasa,
ibunya Al-Ghauts Bin Mur ini melewati Ka`bah dan mendapati anaknya pingsan karena tidak kuat menahan
panas. Ibunya lalu berkata: shara ibni shuufah (anakku jadi seperti kain lap).

Dari sisi lughawi, ada kesesuaian jika kata sufi
dinisbatkan kepada kata shufah , namun dari sisi maknawi tentu saja akan terjadi persoalan, karena umat Islam tentu tidak akan menerima jika orang atau tokoh sufi seperti misalnya Syekh Abdul Qadir Jailani, Syekh
Abu Hasan Asyadzili, Syekh Abdul Qadir Jailani, Imam
Ghazali dan para tokoh sufi lainnya dinisbatkan kepada
tokoh atau orang yang hidup pada jaman jahiliyah.

Penisbatan kata sufi yang keempat, sufi berasal dari kata sufia (menggunakan huruf sin ) berasal dari bahasa Yunani yang artinya hikmah. Kata sufia ini
secara maknawi memang sesuai, karena tasawuf memiliki hikmah, namun dari sisi lughawi kata sufia tidak cocok, karena kata sufia menggunakan huruf ‘S’
atau sin, bukan shad, selain itu, kata sufia ini ahistoris, karena penerjemahan buku-buku Yunani kuno dilakukan
pada masa khalifah Al-Mamun salah seorang khalifah dari bani Abasiyah, sementara tasawuf sudah ada
sebelum kekhalifahan Abasiyah.

KH. Said Aqil Siraj sendiri lebih cenderung
kepada asal kata yang kelima, yaitu shuf yang berarti bulu domba, sebab pada zaman dahulu orang-orang yang ahli beribadah, orang yang zuhud, mengasingkan diri di gua atau padang pasir dan orang yang banyak riyadlah,
pakaian mereka menggunakan bulu domba, seperti sahabat atau muridnya Nabi Isa yang memakai baju
putih disebut hawariyyin, maka orang sufi disebut sufiyun, seperti fiil madi yang ditambahi dua huruf menjadi khumasi , bunyinya tashawwafa , artinya memakai
bulu domba , taqammasha artinya memakai gamis, tasarwala, artinya memakai celana. [1]

Para ahli pun berbeda pendapat dalam
merumuskan pengertian tasawuf secara terminologi.

Mahrus eL-Mawa mengutip pernyataan Annemarie Schimmel dalam buku Dimensi Mistik dalam Islam dimana dikatakan bahwa istilah tasawuf selaras dengan sufisme, nama lain dari mistik Islam. Secara universal,
menurut Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani dalam Madkhal ila al-Tasawuuf al-Islam , tasawuf adalah falsafah
hidup dan metode tertentu dalam suluk yang dilakukan manusia untuk merealisasikan kesempurnaan akhlak,
pemahaman tentang hakekatnya, dan kebahagiaan ruhaninya.

Menurut Syekh Ibn Ajiba (1809), sufisme
adalah pengetahuan yang dipelajari seseorang agar dapat berlaku sesuai kehendak Allah melalui penjernihan hati dan membuatnya riang terhadap perbuatan-perbuatan yang baik.

Ma’ruf Al-Karkhi (w. 200 H) mengatakan,
tasawuf menekankan hal-hal yang hakiki dan
mengabaikan segala apa yang ada pada makhluk.

Barangsiapa yang belum bersungguh-sungguh dengan kefakiran, berarti belum bersungguh-sungguh dalam
bertasawuf. [2]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
tasawuf adalah proses aktualisasi diri untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt.

TAREKAT.

Menurut Harun Nasution, tarekat berasal dari
kata thariqah yang artinya jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi agar ia berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Setiap thariqah mempunyai syaikh,
upacara ritual, dan dzikir tersendiri. [3]

Secara lebih lengkap Zamakhsyari Dhofier
menjelaskan bahwa istilah ’tarekat’ berasal dari kata Arab ’thariqah’. Sebagai suatu istilah generik, perkataan tarekat berarti ’jalan’ atau lebih lengkap lagi ’jalan menuju surga’ di mana waktu melakukan amalan-amalan tarekat tersebut si pelaku berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas kediriannya sebagai manusia dan mendekatkan dirinya ke sisi Allah SWT. [4]

Melengkapi pendapat di atas, Samsul Munir
Amin, dalam Ilmu Tasawuf mengatakan tarekat ( thariqah ) mempunyai beberapa arti, antara lain jalan lurus (Islam yang benar, berbeda dari kekufuran dan syirik), tradisi
sufi atau jalan spiritual (tasawuf), dan persaudaraan sufi.
Pada arti ketiga, tarekat berarti organisasi sufi yang memiliki anggota dan peraturan yang harus ditaati, serta
berpusat pada hadirnya seorang mursyid. [5]

Dalam tradisi keilmuan Islam, istilah tarekat
sama sekali tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut tasawuf. Tentu saja tidak demikian sebaliknya, karena
tasawuf bisa saja terpisah tanpa ada hubungan langsung dengan tarekat. [6]

Pada awal mulanya, tarekat belum ada di
dalam agama Islam. Akan tetapi untuk memasuki dunia
tasawuf, diperlukan satu jalan untuk dapat mencapai tujuan utama yang ingin dicapai oleh seseorang. Dari situ
timbullah satu cara untuk mendaki satu maqam ke maqam lainnya yang disebut tarekat. [7]

Tasawuf secara umum merupakan usaha
mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah.
Usaha ini biasanya dilakukan di bawah bimbingan seorang syaikh. Ajaran-ajaran tasawuf ini merupakan
hakikat dari tarekat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf ialah usaha mendekatkan diri kepada
Allah, sedangkan tarekat ialah jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Gambaran ini menunjukkan bahwa tarekat yang telah berkembang dengan berbagai variasi tertentu, sesuai dengan spesifikasi yang diberikan guru kepada muridnya. [8]

Sejarah perkembangan tarekat dapat disimpulkan dalam tiga fase. Fase pertama adalah tahap khanaqah.
Khanaqah dalam istilah sufi/tarekat adalah sebuah tempat atau pusat pertemuan. Seorang Syekh hidup
dengan muridnya dalam ikatan peraturan yang tidak terlalu ketat. Syekh menjadi mursyid atau guru. Amalan- amalan/zikir dan metode yang mereka lakukan tidak semuanya bersumber dari ajaran guru.

Mereka melakukan kontemplasi kadang-kadang secara individu,
kadang-kadang secara bersam-sama. Hal ini terjadi sekitar abad X Masehi.

Kedua adalah fase tarekat. Pada fase ini ajaran-ajaran, metode, peraturan-peraturan sudah mulai terbentuk. Semua amalan yang dilakukan berpusat pada ajaran guru.

Guru adalah sosok kharismatik yang wajib
dipatuhi. Guru memiliki silsilah tarekatnya sampai kepada Rasulullah SAW. Dalam tahap ini para sufi mencapai kedekatannya kepada Tuhan dengan istilah- istilah tertentu seperti ma’rifat, mahabbah, dan sebagainya. Fase ini berlangsung sekitar abad XIII Masehi.

Tahap ketiga adalah tha’ifiah yang terjadi sekitar abad XV Masehi. Pada masa ini terjadi transisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Pada tahap ini, tarekat memiliki arti lain yaitu organisasi sufi yang bertujuan melestarikan ajaran Syekh. Murid, setelah masa tertentu, tidak lagi harus bersama gurunya. Mereka boleh
mendirikan cabang di tempat lain. Bahkan banyak cabang tarekat yang pada akhirnya baerbeda dengan tarekat
asalnya. [9]

Dalam kaintan inilah muncul dan
berkembangnya berbagai organisasi tarekat atau aliran tasawuf hingga saat ini.
Hubungan Tarekat dengan Tasawuf
Secara kelembagaan, tarekat pada dasarnya
tidak dikenal dalam Islam hingga abad ke-8 H atau abad ke-14 M. Artinya, tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf, dapat dianggap sebagai hal baru yang tidak pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal, termasuk pada masa Nabi.

Tidak heran jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu dinisbahkan kepada nama-nama para wali atau ulama
belakangan yang hidup berabad-abad jauh setelah Nabi. [10]

Pada hakekatnya tarekat adalah suatu cara
pensucian jiwa di dalam tasawuf yang ditempuh oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Kemudian cara ini berkembang dan
menjadi lembaga-lembaga yang terorganisir sedemikian rupa sehingga menjadi semacam organisasi permanen. [11]

Karena itu, sesungguhnya tarekat adalah lanjutan dari usaha pengikut-pengikut sufi untuk lebih
menspesialisasikan praktek pensucian jiwa dengan sebuah sistem yang terpimpin atau terlembagakan.

Dengan kata lain tarekat adalah formalisasi ajaran dan pengamalan tasawuf dalam bentuk yang lebih khusus.

Tasawuf sebagai bentuk pensucian jiwa yang bersifat individual berubah menjadi pensucian jiwa yang bersifat komunal.

Namun istilah tarekat tidak lagi hanya
bermakna tasawuf yang diatur dengan cara tertentu,
tetapi memiliki wilayah makna yang lebih luas, termasuk di dalamnya ajaran sopan santun, cara berzikir, waktu
beramal dan lain-lain. Bahkan tarekat merambah ke masalah shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Semuanya benar-benar tarekat dengan bimbingan dan aturan yang
sudah ada dalam tarekat itu. [12]

Dengan demikian tarekat adalah tasawuf yang
telah melembaga, tasawuf yang telah bersifat kelompok dengan ajaran dan aturan serta cara-cara yang khas
sesuai dengan bimbingan syekh yang mungkin telah ada secara turun-temurun. Tarekat adalah aliran atau cabang-cabang tasawuf yang dikembangkan oleh orang-
orang tertentu yang telah mendapat restu dari tasawuf atau tarekat tempat belajar sebelumnya.

Ada beberapa maqom (tingkatan) bagi orang yang menjalani
titian tasawuf. Dalam setiap titian tersebut, pelakunya akan merasakan situasi-situasi tertentu.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengurai tingkatan
tasawuf tersebut di gedung PBNU, Jakarta, Senin malam, (28/01/2012).

Peserta pengajian tersebut adalah pengurus
lajnah, banom dan lembaga di PBNU.

“Yang pertama adalah taubat atau mohon ampunan kepada Allah. Taubat itu bukan hanya sekadar mengucap
astaghfirullah, tapi perubahan sikap. Astghafirullah hanya
lafadnya,” ungkap kiai kelahiran Cirebon 1953 tersebut.

Kiai yang pernah nyantri di Lirboyo dan Krepyak tersebut menambahkan, taubat itu sendiri terbagi ke dalam tiga
tingkatan. Taubatnya orang awam, yaitu taubat dari segala
dosa. Taubatnya ulama, yaitu taubat dari lupa. Dan taubatnya
ahli tasawuf, taubat dari merasa dirinya ada (eksis).

“Setiap orang yang merasa dirinya “ada”, bisa jatuh ke dalam kemusyrikan,” ujar kiai yang juga doktor (S3) University of
Umm Al-Qura Jurusan Aqidah atau Filsafat Islam, lulus pada tahun 1994.

Kita ini adalah “maujud” (diadakan). Kita hidup 30, 50, 100
tahun hanyalah “diadakan”. Sedangkan yang “ada” (wujud)
hanyalah Allah. Dialah yang mengadakan kita. Kita harus merasa sementara dan diadakannya.

Tidak ada “aku” yang sesungguhya, kecuali “Aku”nya Allah, la
ilaha ila ana. Tidak ada “dia” yang sesungguhnya kecuali
“Dia” allah, lai ilaha ilah huwa. Tidak ada kamu yang sesungguhnya, kecuali Kamu Allah, la ilaha ila anta.

Setelah taubat, sambung bapak dari empat anak ini, akan timbul tingkatan selanjutnya,

yaitu waro’i. Orang yang
mencapai maqom ini melihat segala sesuatu dengan hati-hati.
Yang tidak betul-betul halal, tidak akan diambilnya. Tidak akan mengambil kedudukan yang bukan miliknya.

“Kalau waro’i sudah selesai, timbul zuhud,” tambah kiai yang akrabdisapa Kang Said tersebut.

Zuhud adalah memandang rendah dunia. Misalnya dapat uang
10 juta biasa-biasa saja. Hilang 10 juta juga biasa-biasa saja. Seperti Gus Dur. Saya melihat, ketika dia sebelum
presiden, dia bersikap biasa saja. Ketika jadi presiden, bersikap biasa saja. Begitu juga ketika dia tidak jadi presiden.

Kang Said menegaskan, zuhud itu bukan berarti harus melarat, tapi lebih pada sikap. Orang kaya bisa zuhud, orang melarat bisa serakah. Tapi zuhud lebih pada sikap dan cara pandang
orang terhadap dunia. Ia menyikapi selain Allah itu kecil.

Tiga tingkatan tersebut berada dalam proses takhalli atau pembersihan diri.

Efek kejiwaan sementara orang dalam
tingkatan ini adalah khauf, atau takut kepada Allah. “Segala amal soleh dan ibadah yang dilakukannya adalah lita’abud ,
untuk beribadah.” Para pelaku tasawuf yang telah meniti tiga maqom (tingkatan) sebelumnya (taubat, wira’i dan zuhud,
akan menjalani maqom-maqom selanjutnya, yaitu tawakal, ridho, dan syukur.

“Tawakal adalah pasrah kepada Allah,” kata kiai kelahiran Cirebon 1953 tersebut.

Orang yang tawakal, jika melakukan sesuatu, tidak mengandalkan upayanya, tapi hanya kepada Allah. Hujjataul
Islam, Imam Ghazali mencontohkan orang tawakal. Misalnya,
ketika api yang membakar kertas, dan terbakar, ia mengatakan
yang membakar kertas itu memang api, tapi atas kehendak Allah.

Buktinya, sambung kiai yang pernah nyantri di Pesantren Kempek, Lirboyo, dan Krapyak tersebut, adalah Nabi Ibrahim
ketika dibakar Namrud. Api tak kuasa membakarnya sebab
Allah tidak mengizikannya.

“Setelah tawakal akan muncul ridho.”
Ridho itu, lanjut kiai yang menggondol doktor dari University
of Umm Al-Qura Jurusan Aqidah/Filsafat Islam, lulus pada
tahun 1994, apapun yang terjadi, apapun yang didapat, diterima dengan suka cita, tidak sedikit pun gelisah dan mengeluh.

“Jadi guru SD, jadi dosen; jadi Ketua PBNU atau Ketua
Ranting, diterima,” jelas kiai yang akrab disapa Kang Said.

Setelah ridho, akan muncul syukur. Syukur adalah selalu mensyukuri apa yang diterima dari Allah. Apapun wujudnya
tetap bersyukur. “Ketika diredaksikan, syukur itu mengucap Alhamdulillah.
Tapi bukan berarti ucapan saja, melainkan
sikap.

Tiga maqom ini adalah berada dalam proses tahalli , menghias
diri. Biasanya timbul efek spiritual temporal roja’, optimis kepada Allah.

Sementara ibadah dalam maqom ini adalah li-
taqorub (mendekatkan diri) kepada Allah. Bukan ingin sorga
atau benci dengan neraka, tapi ingin dekat dengan Allah.

Para pelaku tasawuf yang telah meniti tiga maqom (tingkatan)
sebelumnya, yaitutawakal, ridlo , dan syukur akan menjalani maqom-maqom selanjutnya, yaitu mahabbah, tuma’ninah, dan
ma’rifat.

Mahabbah adalah maqom cinta kepada Allah. Kalau sudah cinta kepada-Nya, kepada apapun cinta, mencintai segalanya.
Orang yang menapaki maqom tersebut, yang cantik, yang jelek, yang pintar, yang bodoh, yang kaya, yang miskin; semua
dicintainya.

“Karena semuanya yang ada itu adalah tanda-tanda keagungan Allah,” ungkap kiai kelahiran Cirebon 1953 tersebut.

Kalau sudah mahabbah, akan tumbuh tuma’ninah , atau full
happy, enjoy . Hati orang yang menempuh
jalan tuma’ninah adalah tenang.

“Tuma’ninah bukan di rumah, mobil, uang, tapi dalam hati,” tambahnya.

Setelah maqom tuma’ninah , muncul maqom terakhir, ma’rifat .
Kiai yang akrab disapa Kang Said ini menjelaskan, maqom ini
dengan pengalaman Imam Ghazali sepulang menyepi di masjid Damaskus. Setelah keluar dari masjid tersebut, ia tak
bisa mengatakan pengalamannya.

“Ilmu ma’rifah tak bisa dituliskan. Tak bisa diceritakan. Tidak
bisa diajarkan dengan kata-kata,” ujar kiai yang pernah nyantri di Pesantren Kempek, Lirboyo dan Krapyak tersebut.
Orang yang sedang mengalami maqom ma’rifat , tahu betul
bahwa segala sesuatu dari Allah, untuk Allah, karena Allah, bersama Allah. Tanpa itu sedetik saja, dunia hancur.

Kiai yang juga doktor jebolan University of Umm Al-Qura
Jurusan Aqidah/Filsafat Islam menegaskan, ketiga maqom
tersebut dinamakan tajalli (manifestasi). Allah sudah menjelma dalam segala keadannya.
Dampak spirutual temporalnya adalah al-uns, harmonis. Amal
salehnya, bukan karena lita’abud (ibadah), bukan litaqorub
(ingin dekat dengan Allah), melainkan litahaquq (mencari hakikat).

Maqom-maqom tersebut adalah versi ringkasnya. Para ahli tasawuf berbeda rincian maqomnya. Misalnya, menurut Syekh Abdul Qodir Jilani, terdapat 40 maqom tasawuf. Sementara
Imam Ghazali berpendapat ada 14 tingkatan. ”

[1] KH. Said Aqil Siraj, pada kuliah Tasawuf Program
S2 SKI STAINU Ciganjur, Sabtu, 19 Oktober 2013
[2] Mahrus eL-Mawa, Naskah Syattariyah Cirebon:
Riset Awal dalam Konteks Jejaring Islam Nusantara, Annual
Conference On Islamic Studies (ACIS) Ke-10, h.314
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), jilid II, cet. ke-1, h. 89
[4] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi
Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan
Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), cet. ke-9, h. 212
[5] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf,
(Jakarta:Amzah, 2012), h. 294
[6] Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di
Minangkabau: Teks dan Konteks , (Jakarta: Prenada Media
Group, 2008), cet. ke-1, h. 25
[6] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, h. 290
[8] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, h. 297
[9] Khairuddin, Inabah; Jalan Kembali dari Narkoba,
Stress dan Kehampaan Jiwa , (Jakarta, Bina Ilmu, 2005), h.
122.
[10] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII , (Bandung: Mizan,
1994), cet.ke-1, h. 109
[11] Said Hawa, Terj. Khairul Rafie M dan Ibn Thoha
Ali, Jalan Ruhani , (Bandung; Mizan, 1995 ),, h. 95.
[12] Khailili Albamar, Ajaran Tarekat, Bintang
Remaja , ttp, tt, h. 47-82.

Sumber di transkrif dari video di bawah ini.

Simak videonya ceramah Tasawwuf bersama KH said aqil siradj di Masjid Agung Sunda Kelapa.

http://m.youtube.com/watch?v=9Cv5-X-nQGk&itct=CCEQpDAYASITCPSi8qbV3sECFUsifgodeB0ACTIHcmVsYXRlZEjXsKrn4Nrj-74B&client=mv-google&hl=id&gl=ID


simak videonya
Kang Said Tasawwuf part 1
lengkapnya part 2,3,4.

http://m.youtube.com/watch?v=vveO1gzqmFc&itct=CCMQpDAYCSITCMDfsZXU3sECFcIifgodiloANFIRU2FpcyBhcWlsIHRhc2F3dWY%3D&client=mv-google&gl=ID&hl=id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar