Selasa, 23 Desember 2014

FATWA ULAMA SEPUTAR HUKUM UCAPAN NATAL

Macam-macam Fatwa Ulama Tentang Ucapan
Natal (Semisalnya) Dan Mengikuti Hari Raya Non-Muslim.

Setiap tahun menjelang natal selalu saja terjadi polemik seputur hukum masalah natal bagi umat Islam.
Pada dasarnya ada dua hal yang menjadi kontroversi, yakni hukum mengucapkan selamat natal dan mengikuti perayaan natal.
Bagaimanakah para ulama memandang masalah hukum seputar natal ini?

Mari kita simak pendapat para ulama
mengenai hal tersebut.

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)

Dalam Fatwa MUI Tentang Perayaan Natal Bersama Tertanggal 1 Jumadil Awal 1401 H/ 7 Maret 1981 yang ditandatangani oleh KH. Syukri Ghozali selaku Ketua Komisi Fatwa dan Drs. Mas’udi selaku Sekretaris Komisi Fatwa,
Majelis Ulama Indonesia memfatwakan bahwa:

Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa as, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.

Fatwa MUI yang dikeluarkan tahun 1981 pada era kepemimpinan Buya Hamka dia dengan jelas mengharamkan umat Islam untuk mengikuti perayaan Natal yakni mengikuti proses ritual keagamaan mereka.

Tetapi mengenai ucapan selamat Natal sendiri tidak pernah dibahas dan dijelaskan dalam fatwa MUI tersebut.

FATWA MUI DAN BUYA HAMKA

Prof. Dr. Hamka atau yang dikenal dengan sebutan Buya Hamka yang juga sebagai Ketua Umum MUI waktu itu menyatakan bahwa beliau mengharamkan umat Islam mengikuti upacara sakramen (ritual) Natal .

Tapi, kalau sekedar mengucapkan selamat Natal atau mengikuti perayaan non- ritual tidak masalah (tidak haram) .
Hal ini pernah dimuat dalam Majalah Panji Masyarakat dimana Buya Hamka selaku
pemimpin redaksinya, seperti yang tertuang dalam situs Ponpes Al Khoirot Malang.
Mengenai hal ini juga pernah ditulis dalam Majalah Tempo tertanggal 30 Mei 1981 yang melaporkan:

Mengapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri pekan lalu mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan
oleh fatwa MUI 7 Maret 1981.
Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan (maksudnya
mungkin mengharamkan -red) umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi
Isa.

Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MU di daerah-daerah. (TEMPO, 16 Mei 1981).

Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei lalu memuat fatwa tersebut,
yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981.
Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MU. Yang menarik, sehari
setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut.
Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr.
Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Menurut SK yang sama, pada dasarnya
menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain misa, kebaktian dan sejenisnya.

Bagi seorang Islam tidak ada halangan untuk
semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual.

HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas- ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional —
termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar waktu itu.

PROF. DR. HM DIN SYAMSUDDIN MA (Ketua Umum PP Muhammadiyah)

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. DR.
HM Dien Syamsuddin MA seperti yang tertulis dari website Hidayatullah tertanggal 11 Oktober 2005 menyatakan bahwa

“MUI Tidak Larang Ucapan Selamat Natal” . Pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini disampaikan dalam “Seminar
Wawasan Kebangsaan X BAMAG Jatim” yang digelar di Surabaya pada 10 Oktober 2005. Dien Syamsuddin yang juga
menjabat sebagai Sekretaris Umum MUI Pusat waktu itu menyatakan MUI tidak melarang ucapan selamat Natal, tapi
melarang orang Islam ikut sakramen/ritual Natal .

“Kalau hanya memberi ucapan selamat tidak dilarang, tapi kalau ikut dalam ibadah memang dilarang, baik orang Islam
ikut dalam ritual Natal atau orang Kristen ikut dalam ibadah orang Islam,”
kata Dien Syamsuddin.
Pada tanggal 24 Desember 2007,

Dien Syamsuddin justru mempersilahkan ucapan selamat Natal dan bahkan hadir
dalam perayaan Natal yang sifatnya seremoni.

Hal ini diungkapkan Dien Syamsuddin dalam jumpa pers bersama Ketua Panitia Peringatan Natal Nasional 2007 Mari Elka Pangestu, di Gedung PP Muhammadiyah, Jalan Menteng
Raya, Jakarta, juga.

”Yang sifatnya seremoni, tidak seharusnya dihindari. Apalagi Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin.
Jadi saya secara pribadi tidak melarang umat Islam untuk mengucapkan
selamat Natal dan menghadiri perayaan Natal,” kata Dien Syamsudin.

Dien Syamsuddin menambahkan, fatwa yang dikeluarkan seniornya (Buya Hamka) ketika menjabat Ketua MUI pada saat
itu hanyalah fatwa yang berdimensi pada pelarangan untuk menghadiri kebaktian atau sakramen. Menurut dia, ucapan
selamat Natal adalah bagian dari upaya menghargai, bersimpati, dan berempati pada umat Kristiani.

Tapi bukan berarti kita setuju dengan keyakinan mereka.

Jadi MUI tidak pernah mengeluarkan larangan untuk mengucapkan selamat Natal. Bahkan, dalam buku “Himpunan
Fatwa MUI Sejak Tahun 1975″ setebal 962 halaman yang diterbitkan oleh penerbit Erlangga tahun 2011 sama sekali
tidak ditemukan fatwa resmi tentang ucapan selamat Natal.

Yang ada adalah fatwa tentang perayaan Natal bersama (ritual keagamaan) yang diharamkan dan bukan ucapan selamat Natal.

KESIMPULAN: Tidak ada fatwa resmi MUI tentang larangan ucapan selamat Natal, tetapi yang ada adalah larangan untuk
mengikuti perayaan ritual Natal bersama.

Islam sangat menganjurkan para ahli agama di bidangnya untuk melakukan ijtihad .
Muadz bin Jabal dipuji Nabi dengan
ijtihadnya saat dikirim Nabi ke Yaman sebagai Hakim.[1]

Tetapi, ijtihad adalah aktivitas para ahli di bidang hukum agama yang disebut fiqih atau syariah. Sebagaimana juga
undang-undang negara yang hanya dapat dibuat oleh para ahli hukum.
Ada yang bermimpi bahwa ijtihad hukum Islam dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk oleh mereka yang hanya modal membaca hadits terjemahan. Pendapat ini tidak logis
bahkan bagi kalangan awam sekalipun. Kalau hanya ahli hukum pidana yang dapat membuat perundang-undangan atau
keputusan hukum pidana umum, maka mengapa hukum Islam
yang jauh lebih penting dapat dilakukan oleh sembarang orang?

Tokoh Ulama Wahabi sendiri mewajibkan kalangan muslim yang awam ilmu agama untuk taqlid kepada keputusan
hukum yang diambil ulama mereka.

Kembali pada soal Natal, yang menjadi perbedaan (ikhtilaf) ulama adalah seputar mengucapkan Selamat Natal.

Sedangkan mengikuti ritual natal hukumnya haram secara ijmak (mufakat ulama fiqh). Sebagaimana haramnya orang
Nasrani mengikuti ritual solat Idul Fitri atau Idul Adha.
Namun dipersilahkan untuk ikut acara makan-makan setelah acara salat Ied selesai.

CATATAN: Artikel ini bertujuan untuk memberi pencerahan pada umat Islam terhadap persoalan seputar Natal. Karena itu,
kami memuat dua pendapat yang berbeda. Baik yang menghalalkan atau yang mengharamkan mengucapkan
Selamat Natal atau ucapan selamat yang lain pada pengikut agama lain.

Adanya arus besar dua perbedaan pendapat
seputar hal ini penting. Karena dapat dipakai oleh umat Islam sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

Pendapat diambil dengan memakai sumber rujukan dari kedua kubu.
Dengan mengesampingkan preferensi pribadi.
Umat Islam akan menjadi rahmat bagi diri sendiri dan bagi seluruh alam apabila

(a) tidak memaksakan kehendaknya
sendiri;
(b) menghargai perbedaan pendapat ulama yang
berdasarkan pada argumen ilmiah;
(c) boleh setuju atau tidak
setuju dengan suatu pendapat dengan tetap menjaga perilaku Islami. Yakni, santun, logis dan tidak emosional.

DALIL AL -QUR'AN DAN HADITS TENTANG MENGUCAPKAN NATAL

Dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar hukum dari keputusan ulama tentang halal dan haramnya mengucapkan Selamat
Natal pada kaum Kristiani dan ucapan selamat pada non- muslim lainnya adalah sbb:

DALIL AL QUR'AN DAN HADITS. ULAMA YANG MENGHALALKAN UCAPAN SELAMAT NATAL

- QS Al-Mumtahanah 60:8
“Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil.”

- QS Al-Baqarah 2:83:
“…serta ucapkanlah kata-kata yang
baik kepada manusia”

- QS An-Nahl 16:90:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan…”

- QS An-Nisa’ 4:86
“Apabila kamu diberi penghormatan
dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa).”

DAL AL QUR'AN DAN HADITS, ULAMAYANG MENGHARAMKAN UCAPAN SELAMAT NATAL

Berdasarkan fatwa dari Ibnu Taimiyah dan ulama Wahabi Muhammad bin Shalih Al Uthaimin

- QS Al-Furqon 25:72
“Dan orang-orang yang tidak
memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”

- QS Az-Zumar 39:7:
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya
Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya
Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.”

- QS Al-Maidah 5:48
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu,
Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”

- QS Al-Maidah 5:3
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”

- QS Ali Imran 3:85
“Barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi.”

- Hadits ﻣَﻦْ ﺗﺸﺒّﻪ ﺑﻘﻮﻡ ﻓﻬﻮ ﻣﻨﻬﻢ (Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum, maka ia menjadi bagian darinya).

PENDAPAT BOLEHNYA MENGUCAPKAN NATAL

Selain Ulama Wahabi yang dikenal ekstrim, ulama non-Wahabi umumnya menghalalkan atau membolehkan mengucapkan
selamat pada perayaan umat non-Muslim termasuk Natal.

Dalil dasar yang menjadi landasan hukumnya antara lain
QS Al Mumtahanah 60:8; Al-Baqarah 2:83; An-Nahl 16:90.
Landasan Quran dan analisa hukumnya lebih detail lihat:

Fatwa Qardawi dan Ali Jum’ah seputar Ucapan Selamat Natal.
1. Dr. Yusuf Al-Qaradawi (Ahli Fiqih asal Mesir paling
berpengaruh saat ini).
2. Dr. Ali Jumah (Mufti Mesir saat ini)
3. Dr. Ali Tantawi (Syekh Universitas Al Azhar Mesir)
4. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq (mantan Menteri Wakaf Mesir)
5. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’
6. Dr. Wahbah Zuhayli (Ahli Fiqih asal Syria)
7. Dr. M. Quraish Shihab (Ahli Tafsir asal Indonesia)
8. Fatwa MUI (Majlis Ulama Indonesia) dan Buya Hamka
9. Dr. Din Syamsuddin
10. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah
11. Isi Fatwa MUI 1981 Seperti Dikutip Eramuslim.com
12. Dr. Syaraf Qudhat pakar hadits dari Fakultas Syariah
Universitas Yordania
Lebih detail lihat: Fatwa Ulama tentang Bolehnya Ucapan Selamat Natal

ULAMA YANG MENGHARAMKAN UCAPAN SELAMAT NATAL

Umumnya yang mengharamkan ucapan selamat Natal adalah
ulama Wahabi yang terinspirasi dari fatwa Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim.
Inti alasan dari ulama yang
mengharamkan adalah karena mengucapkan selamat pada perayaan orang non-muslim sama dengan mengakui
kebenaran agama mereka dan itu bertentangan dengan Quran
QS. Al-Zumar: 7; QS. Al-Maidah: 3.

1. Ibnu Taimiyah
2. Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah
3. Fatwa Syeikh Al-‘Utsaimin (ulama Wahabi)
4. Seluruh ulama Wahabi Salafi.
5. Seluruh aktifis dan simpatisan Wahabi Salafi di Indonesia.

Dalil dan argumen ulama Wahabi soal ucapan selamat Natal
lihat:

Ulama Wahabi Haramkan Ucapan Natal
HARAM MENGIKUTI SAKRAMEN (RITUAL) NATAL

Mengikuti perayaan ritual (sakramen) Natal haram hukumnya secara mutlak.
Larangan ini difatwakan baik oleh ulama yang
membolehkan ucapan selamat natal maupun menurut ulama yang mengharamkannya.

PENDAPAT ULAMA DAN DALIL DASAR ARGUMEN

Berikut rujukan dan dasar dari pendapat ulama seputar mengucapkan selamat Natal dan ucapan selamat pada
nonmuslim lainnya.

1. Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj (Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama)

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj mengatakan ucapan Natal boleh saja disampaikan
kepada umat Kristiani demi kerukunan umat beragama. Said Aqil Siradj juga mengatakan dirinya selalu mengucapkan Natal
kepada tetangganya yang umat Kristen Katolik dan Kristen Protestan.
Kalau yang dilarang itu adalah ikuti ritualnya seperti yang dilakukan umat Kristiani. Nah itu yang tidak boleh. Kalau ucapkan selamat saja, menurutnya tidak salah.
Kang Said juga melanjutkan bahwa ucapan itu sebagai upaya menjaga dan memperkuat tali persaudaraan antar umat beragama.

Kita tidak bisa membangun Ukhuwah Islamiah
tanpa menghargai keberadaan agama lainnya. Kalau dibiarkan dan berhenti pada Ukuwah Islamiah saja, kita akan menjadi
ekstrim, tertutup, eksklusif. Malah bisa jadi radikal.
Dia berharap Ukhuwah Islamiah dibangun dengan ukhuwah watoniah. Baca lebih lengkap di postingan sebelum nya dalam blog ini.

2. Habib Munzir Al Musawwa (Pemimpin Majelis Rasulullah SAW)

Habib Munzir Al Musawwa menyatakan mengenai Natal sebagai berikut:
“Mengenai ucapan Natal, hal itu dilarang dan haram hukumnya jika diniatkan untuk memuliakan agama lain, namun jika
diniatkan untuk menjalin hubungan baik agar mereka tertarik pada islam atau tidak membenci islam, maka hal itu ada
sebagian ulama yg memperbolehkan”, kata Habib Munzir dalam situs resmi Majelis Rasulullah SAW. log www.majelisrasulullah.net
Mengucapkan selamat untuk menyambut kemuliaan agama lain haram hukumnya secara mutlak. Namun, jika tidak untuk
memuliakan agama lain, seperti ingin mempererat hubungan
dengan mereka, apakah itu keluarga atau teman, atau siapapun agar mereka tertarik pada kebaikan dan keramahan
agama Islam maka hal ini khilaf, sebagian ulama memperbolehkan dan sebagian tetap mengharamkan, kelompok yang membolehkan ucapan Natal / tahun baru /
waisak dan sebagainya jika betul betul diyakini perbuatan itu bisa membuatnya tertarik pada Islam.
Toh kita sama sekali tak memuliakan selain Allah SWT. Jika ragu, maka lebih baik jangan dilakukan.
Beliau juga menambahkan bahwa masalah ini adalah masalah sikon dan kekuatan iman, seseorang jika mengucapkan
selamat hari Natal pada nasrani tidak berarti ia murtad dan kufur, kecuali jika didasari pengakuan atas trinitas dan atau
agama mereka, namun kebiasaan ini baiknya ditinggalkan oleh muslimin dan bukan dilestarikan terkecuali bermaksud
mengambil simpatinya kepada Islam.

3. FATWA WAHBAH ZUHAILI SOAL NATAL

1. http://www.fikr.com/zuhayli/fatawa_p54.htm#26
(pendapat Wahbah Zuhayli yang membolehkan).

Zuhayli mengatakan:

ﻻ ﻣﺎﻧﻊ ﻣﻦ ﻣﺠﺎﻣﻠﺔ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﻓﻲ ﺭﺃﻱ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻓﻲ
ﻣﻨﺎﺳﺒﺎﺗﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺃﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺭﺍﺕ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺇﻗﺮﺍﺭﻫﻢ
ﻋﻠﻰ ﻣﻌﺘﻘﺪﺍﺗﻬﻢ

Artinya: Tidak ada halangan dalam bersopan santun (mujamalah) dengan orang Nasrani menurut pendapat sebagian ahli fiqh berkenaan hari raya mereka asalkan tidak
bermaksud sebagai pengakuan atas (kebenaran) ideologi mereka.

4. FATWA YUSUF QARDHAWI SOAL NATAL

Pada link no. 4 mengutip fatwa Qardhawi yang membolehkan mengucapkan Selamat Natal pada hari raya umat Nasrani dan
hari-hari raya nonmuslim lain.

Berikut pendapat Yuruf Qaradawi:

ﻳﺮﻯ ﺟﻤﻬﻮﺭ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻤﻌﺎﺻﺮﻳﻦ ﺟﻮﺍﺯ ﺗﻬﻨﺌﺔ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ
ﺑﺄﻋﻴﺎﺩﻫﻢ ﻭﻣﻦ ﻫﺆﻻﺀ ﺍﻟﻌﻼﻣﺔ ﺩ . ﻳﻮﺳﻒ ﺍﻟﻘﺮﺿﺎﻭﻱ ﺣﻴﺚ ﻳﺮﻯ
ﺍﻥ ﺗﻐﻴﺮ ﺍﻻﻭﺿﺎﻉ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﺔ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﺟﻌﻠﻪ ﻳﺨﺎﻟﻒ ﺷﻴﺦ ﺍﻻﺳﻼﻡ
ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ﻓﻲ ﺗﺼﺮﻳﺤﻪ ﺑﺠﻮﺍﺯ ﺗﻬﻨﺌﺔ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ
ﺑﺄﻋﻴﺎﺩﻫﻢ ﻭﺍﺟﻴﺰ ﺫﻟﻚ ﺍﺫﺍ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻣﺴﺎﻟﻤﻴﻦ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﺧﺼﻮﺻﺎ
ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﺑﻴﻨﻪ ﻭﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺻﻠﺔ ﺧﺎﺻﺔ، ﻛﺎﻷﻗﺎﺭﺏ ﻭﺍﻟﺠﻴﺮﺍﻥ
ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻜﻦ ﻭﺍﻟﺰﻣﻼﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﺭﺍﺳﺔ ﻭﺍﻟﺮﻓﻘﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ،
ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﻟﻢ ﻳﻨﻬﻨﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ، ﺑﻞ ﻳﺤﺒﻪ ﻛﻤﺎ ﻳﺤﺐ
ﺍﻹﻗﺴﺎﻁ ﺇﻟﻴﻬﻢ ‏( ﺍﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺤﺐ ﺍﻟﻤﻘﺴﻄﻴﻦ ‏) ﻭﻻﺳﻴﻤﺎ ﺍﺫﺍ ﻛﺎﻧﻮﺍ
ﻫﻢ ﻳﻬﻨﺌﻮﻥ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺑﺄﻋﻴﺎﺩﻫﻢ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﻘﻮﻝ ‏( ﻭﺇﺫﺍ ﺣﻴﻴﺘﻢ
ﺑﺘﺤﻴﺔ ﻓﺤﻴﻮﺍ ﺑﺄﺣﺴﻦ ﻣﻨﻬﺎ ﺃﻭ ﺭﺩﻭﻫﺎ
ﻭﻳﺮﻯ ﺩ . ﻳﻮﺳﻒ ﺍﻟﺸﺮﺍﺡ ﺍﻧﻪ ﻻ ﻣﺎﻧﻊ ﻣﻦ ﺗﻬﻨﺌﺔ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ
ﺑﺄﻋﻴﺎﺩﻫﻢ ﻭﻟﻜﻦ ﻻ ﻧﺸﺎﺭﻛﻬﻢ ﻣﻨﺎﺳﺒﺘﻬﻢ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﻭﻻ ﻓﻲ ﻃﺮﻳﻘﺔ
ﺍﻻﺣﺘﻔﺎﻻﺕ، ﻭﻳﺒﻘﻰ ﺍﻷﻣﺮ ﺍﻥ ﻧﺘﻌﺎﻳﺶ ﻣﻌﻬﻢ ﺑﻤﺎ ﻻ ﻳﺨﺎﻟﻒ ﺷﺮﻉ
ﺍﻟﻠﻪ،  ﻣﺎﻧﻊ ﺍﺫﻥ ﻣﻦ ﺍﻥ ﻳﻬﻨﺌﻬﻢ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺑﺎﻟﻜﻠﻤﺎﺕ ﺍﻟﻤﻌﺘﺎﺩﺓ
ﻟﻠﺘﻬﻨﺌﺔ ﻭﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﺗﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻱ ﺍﻗﺮﺍﺭ ﻟﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺩﻳﻨﻬﻢ ﺃﻭ ﺭﺿﺎ
ﺑﺬﻟﻚ ﺍﻧﻤﺎ ﻫﻲ ﻛﻠﻤﺎﺕ ﺟﺎﻣﻠﺔ ﺗﻌﺎﺭﻓﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ .

Artinya: Mayoritas ulama kontemporer membolehkan mengucapkan selamat Natal pada umat Nasrani termasuk di
antaranya adalah Dr. Yusuf Qardhawi di mana dia mengatakan bahwa perbedaan situasi dan kondisi dunia telah membuat
Qardhawi berbeda pendapat dengan Ibnu Taimiyah atas bolehnya mengucapkan selamat pada hari raya Nasrani.

Ucapan selamat dibolehkan apabila berdamai dengan umat Islam khsusnya bagi umat Kristen yang memiliki hubungan
khusus dengan seorang muslim seperti hubungan kekerabatan,
bertetangga, berteman di kampus atau sekolah, kolega kerja, dan lain-lain.

Mengucapkan selamat termasuk kebaikan yang tidak dilarang oleh Allah bahkan termasuk perbuatan yang
disenangi Allah sebagaimana sukanya pada sikap adil (Allah memyukai orang-orang yang bersikap adil). Apalagi, apabila
mereka juga memberi ucapan selamat pada hari raya umat Islam.
Allah berfirman: Apabila kalian dihormati dengan suatu penghormatan, maka berilah penghormatan yang lebih baik.

Qardhawi juga menjelaskan bahwa tidak ada hal yang mencegah untuk mengucapkan selamat pada perayaan non- muslim akan tetapi jangan ikut memperingati ritual agama
mereka juga jangan ikut merayakan. Kita boleh hidup bersama
mereka (nonmuslim) dengan melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariah Allah. Maka tidak ada larangan
bagi muslim mengucapkan selamat pada nonmuslim dengan kalimat yang biasa yang tidak mengandung pengakuan atas
agama mereka atau rela dengan hal itu.

Ucapan selamat itu hanya kalimat keramahtamahan yang biasa dikenal.
Lebih detail lihat: Fatwa Qardawi dan Ali Jum’ah seputar
Ucapan Selamat Natal.

5. FATWA ALI JUMAH SOAL UCAPAN SELAMAT NATAL

Ali Jum’ah adalah mufti Mesir saat ini (2012). Pada 2008 ia mengeluarkan fatwa terkait mengucapkan selamat pada
perayaan non-Muslim.
Intinya: ucapana selamat itu boleh dan
baik. Berikut teks Arabnya yang dibuat dalam bentuk reporting seperti dimuat dalam Islamonline.net pada 12 Januari 2008:

ﻣﻔﺘﻲ ﻣﺼﺮ : ﺗﻬﻨﺌﺔ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺑﺄﻋﻴﺎﺩﻫﻢ ﺑﺮ ﺟﺎﺋﺰ
ﺍﻟﻘﺎﻫﺮﺓ - ﺃﻛﺪ ﺍﻟﺪﻛﺘﻮﺭ ﻋﻠﻲ ﺟﻤﻌﺔ ﻣﻔﺘﻲ ﻣﺼﺮ ﺃﻥ ﺗﻬﻨﺌﺔ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ
ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺑﺄﻋﻴﺎﺩﻫﻢ ﺟﺎﺋﺰﺓ، ﻣﻌﺘﺒﺮﺍ ﺃﻧﻬﺎ “ﻣﻦ
ﺍﻟﺒﺮ ” ﺍﻟﺬﻱ ﻟﻢ ﻳﻨﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ، ﺷﺮﻳﻄﺔ ﺃﻻ ﻳﺸﺎﺭﻙ ﻣﻘﺪﻡ ﺍﻟﺘﻬﻨﺌﺔ
ﻓﻴﻤﺎ ﺗﺘﻀﻤﻨﻪ ﺍﻻﺣﺘﻔﺎﻻﺕ ﺑﺘﻠﻚ ﺍﻷﻋﻴﺎﺩ ﻣﻦ “ ﺃﻣﻮﺭ ﺗﺘﻌﺎﺭﺽ ﻣﻊ
ﺍﻟﻌﻘﻴﺪﺓ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ .”
ﻭﺭﺩﺍ ﻋﻠﻰ ﺳﺆﺍﻝ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺸﺄﻥ ﻟـ ”ﺇﺳﻼﻡ ﺃﻭﻥ ﻻﻳﻦ. ﻧﺖ ” ﻗﺎﻝ
ﺍﻟﺪﻛﺘﻮﺭ ﺟﻤﻌﺔ: “ ﺇﻥ ﺗﻬﻨﺌﺔ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺑﺎﻟﻤﻨﺎﺳﺒﺎﺕ
ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ﻭﺍﻷﻋﻴﺎﺩ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﺍﻟﺨﺎﺻﺔ ﺑﻬﻢ، ﻛﻌﻴﺪ ﻣﻴﻼﺩ ﺍﻟﺴﻴﺪ
ﺍﻟﻤﺴﻴﺢ، ﻭﺭﺃﺱ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﻤﻴﻼﺩﻳﺔ ﺟﺎﺋﺰ … ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﺩﺍﺧﻞ
ﻓﻲ ﻣﻔﻬﻮﻡ ﺍﻟﺒﺮ، ﻭﺗﺄﻟﻴﻒ ﺍﻟﻘﻠﻮﺏ ”.
ﻭﺍﻋﺘﺒﺮ ﺃﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺘﻬﻨﺌﺔ ﺩﺍﺧﻠﺔ ﻓﻲ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : } ﻻ ﻳَﻨْﻬَﺎﻛُﻢُ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻦِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻟَﻢْ ﻳُﻘَﺎﺗِﻠُﻮﻛُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺨْﺮِﺟُﻮﻛُﻢْ ﻣِﻦْ
ﺩِﻳَﺎﺭِﻛُﻢْ ﺃَﻥْ ﺗَﺒَﺮُّﻭﻫُﻢْ ﻭَﺗُﻘْﺴِﻄُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤُﻘْﺴِﻄِﻴﻦَ
.

Artinya:
Mufti Mesir: Ucapan Selamat pada Hari Raya Non-Muslim itu Boleh dan Baik
Kairo (Mesir) – Mufti Mesir Dr. Ali Jum’ah menegaskan bahwa mengucapkan selamat pada umat Kristiani dan ahli kitab lain
itu boleh.
Bahkan menganggap itu hal yang baik yang tidak dilarang oleh Allah dengan syarat tidak ikut bergabung dalam perayaannya terutama yang terkait dengan perkara yang
bertentangan dengan akidah Islam.

Menjawab pertanyaan dari islam-online.net, Ali Jumah berkata:
“Mengucapkan selamat pada non-muslim berkenaan dengan perayaan sosial dan agama mereka seperti Natal Nabi
Isa dan Tahun Baru masehi itu boleh.” Hal itu masuk dalam kategori baik dan melunakkan hati.
Ali Jumah menganggap mengucapkan selamat termasuk
dalam firman Allah dalam QS Al-Mumtahanah 60:8 (yang artinya):
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Lebih detail lihat: Fatwa Qardawi dan Ali Jum’ah seputar Ucapan Selamat Natal.

6. FATWA DR. SYARAF QUDHAT AHLI HADITS YORDANIA

Syaraf Qudhat adalah ahli hadits Fakultas Syariah di Universitas Yordania. Dalam fatwanya pada 22 Desember 2011
yang berjudul “Ucapan Selamat pada Hari Raya Kristen”.

Berikut detailnya dalam bahasa Arab:

ﺗﻬﻨﺌﺔ ﺍﻟﻤﺴﻴﺤﻴﻴﻦ ﺑﺄﻋﻴﺎﺩﻫﻢ
“ ﻳﻜﺜﺮ ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﻋﻦ ﺣﻜﻢ ﺗﻬﻨﺌﺔ ﺍﻟﻤﺴﻴﺤﻴﻴﻦ
ﺑﺄﻋﻴﺎﺩﻫﻢ، ﻭﻟﻠﺠﻮﺍﺏ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﺃﻗﻮﻝ : ﺇﻥ ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ
ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ، ﻭﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﻣﺎ ﻳﻨﻬﻰ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ، ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﺳﻤﻌﺘﻪ ﺃﻭ ﻗﺮﺃﺗﻪ
ﻟﻤﻦ ﻳﺤﺮﻣﻮﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺘﻬﻨﺌﺔ ﺃﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﻬﻨﺌﺔ ﺇﻗﺮﺍﺭًﺍ ﻟﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺩﻳﻨﻬﻢ
ﺍﻟﺬﻱ ﻧﻌﺘﻘﺪ ﺃﻧﻪ ﻣﺤﺮﻑ، ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻮﺟﺪ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﻬﻨﺌﺔ
ﺃﻱ ﺇﻗﺮﺍﺭ، ﻟﻤﺎ ﻳﻠﻲ :
1- ﻷﻧﻨﺎ ﻻ ﻧَﻌُﺪُّ ﺗﻬﻨﺌﺘﻬﻢ ﻟﻨﺎ ﺑﺄﻋﻴﺎﺩﻧﺎ ﺇﻗﺮﺍﺭًﺍ ﻣﻨﻬﻢ ﺑﺄﻥ ﺍﻹﺳﻼﻡ
ﻫﻮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ، ﻓﺎﻟﻤﺴﻠﻢ ﻻ ﻳﻘﺼﺪ ﺑﺎﻟﺘﻬﻨﺌﺔ ﺇﻗﺮﺍﺭًﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ، ﻭﻻ
ﻫﻢ ﻳﻔﻬﻤﻮﻥ ﻣﻨﺎ ﺫﻟﻚ .
2- ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﺑﻤﻌﺎﻣﻠﺘﻬﻢ ﺑﺎﻟﺤﺴﻨﻰ، ﻓﻘﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ‏( ﻻ
ﻳَﻨْﻬَﺎﻛُﻢْ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻦْ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻟَﻢْ ﻳُﻘَﺎﺗِﻠُﻮﻛُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺨْﺮِﺟُﻮﻛُﻢْ
ﻣِﻦْ ﺩِﻳَﺎﺭِﻛُﻢْ ﺃَﻥْ ﺗَﺒَﺮُّﻭﻫُﻢْ ﻭَﺗُﻘْﺴِﻄُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳُﺤِﺐُّ
ﺍﻟْﻤُﻘْﺴِﻄِﻴﻦَ ‏( ((8‏( ﺍﻟﻤﻤﺘﺤﻨﺔ ‏) ﻭﺍﻟﺒﺮ ﻫﻮ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻋﻤﻮﻣًﺎ، ﻓﻘﺪ ﺃﻣﺮﻧﺎ
ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﻤﻌﺎﻣﻠﺘﻬﻢ ﺑﺎﻟﺨﻴﺮ ﻛﻠﻪ، ﻓﺘﻜﻮﻥ ﻣﻌﺎﻣﻠﺘﻬﻢ ﺑﺎﻟﺨﻴﺮ
ﻟﻴﺴﺖ ﺟﺎﺋﺰﺓ ﻓﻘﻂ ﺑﻞ ﻫﻲ ﻣﺴﺘﺤﺒﺔ، ﻓﻜﻴﻒ ﻳﺤﺮﻡ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ
ﺗﻬﻨﺌﺘﻬﻢ ﺑﻨﺤﻮ ﻗﻮﻟﻚ : ﻛﻞ ﻋﺎﻡ ﻭﺃﻧﺘﻢ ﺑﺨﻴﺮ، ﻓﺈﻧﻨﺎ ﻻ ﺷﻚ ﻧﺤﺐ
ﻟﻬﻢ ﺍﻟﺨﻴﺮ، ﻭﻗﺪ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺬﻟﻚ .
3- ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺷﺮﻉ ﻟﻨﺎ ﺍﻟﺘﺤﺎﻟﻒ ﻣﻌﻬﻢ ﻛﻤﺎ ﻓﻌﻞ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻤﺎ ﻗﺪﻡ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﺍﻟﻤﻨﻮﺭﺓ .
4- ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺷﺮﻉ ﻟﻨﺎ ﺯﻳﺎﺭﺗﻬﻢ ﻓﻲ ﺑﻴﻮﺗﻬﻢ ﻭﺍﺳﺘﻘﺒﺎﻟﻬﻢ
ﻓﻲ ﺑﻴﻮﺗﻨﺎ، ﻭﺍﻷﻛﻞ ﻣﻦ ﻃﻌﺎﻣﻬﻢ، ﺑﻞ ﻭﺍﻟﺰﻭﺍﺝ ﻣﻨﻬﻢ، ﻣﻊ ﻣﺎ ﻓﻲ
ﺍﻟﺰﻭﺍﺝ ﻣﻦ ﻣﻮﺩﺓ ﻭﺭﺣﻤﺔ، ﻭﻻ ﻳﻘﺎﻝ: ﺇﻥ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛﻠﻪ ﻧﻮﻋًﺎ ﻣﻦ
ﺍﻹﻗﺮﺍﺭ ﻟﻬﻢ ﺑﺄﻥ ﺩﻳﻨﻬﻢ ﻫﻮ ﺍﻟﺤﻖ، ﻓﻜﻴﻒ ﻳﺠﻮﺯ ﺫﻟﻚ ﻛﻠﻪ ﻭﻻ
ﺗﺠﻮﺯ ﺗﻬﻨﺌﺘﻬﻢ
.
Artinya: Banyak pertanyaan akhir-akhir ini tentang hukum mengucapkan selamat (tahniah) pada hari raya umat Kristiani,
sebagai jawaban dari hal tersebut inilah jawaban saya: Hukum
asal dalam hal ini adalah boleh. Tidak ada dalil teks (Quran dan hadits Nabi) yang melarang hal itu. Seluruh pendapat yang
saya dengar dan baca dari mereka yang melarang ucapan selamat Natal bahwa dalam ucapan selamat itu terkandung
pengakuan pada agama mereka. Padahal yang benar adalah bahwa dalam ucapan selamat tidak terkandung pengakuan
apapun dengan dasar sebagai berikut:

Pertama, karena kita tidak pernah menganggap ucapan selamat Hari Raya mereka pada kita sebagai pengakuan
mereka atas kebenaran Islam. Ucapan selamat Natal seorang
Muslim tidak bermaksud sebagai pengakuan yang terkait agama.
Juga bukan berarti mereka faham pada agama kita.

Kedua, karena Allah menyuruh kita untuk memperlakukan mereka dengan baik seperti tersebut dengan jelas dalam QS Al-Mumthanah 60:8. Makna al-birr adalah berbuat baik secara umum.
Artinya, Allah memerintahkan kita untuk
memperlakukan mereka dengan kebaikan. Maka, perlakukan baik kepada non-Muslim bukan hanya boleh bahkan dianjurkan. Bagaimana mungkin mengucapkan selamat saja dilarang? Sudah pasti kita berharap mereka dalam keadaan baik-baik saja. Dan Allah menyuruh kita melakukan hal itu.

Ketiga, karena Allah mensyariatkan kita untuk tahaluf (berkoalisi) dengan mereka sebagaimana yang dilakukan Nabi
saat beliau datang ke Madinah Al Munawwaroh.

Keempat, karena Allah memerintahkan kita untuk mengunjungi rumah mereka dan menyambut kedatangan mereka di rumah
kita. Memakan makanan mereka dan menikahi perempuan mereka padahal dalam perkawinan terdapat mawaddah wa
rahmah (rasa kasih dan sayang). Tidak ada yang mengatakan hal itu sebagai ikrar atau pengakuan bahwa agama mereka itu
benar. Bagaimana semua hal itu dibolehkan sedangkan mengucapkan selamat saja dilarang?

7. FATWA MUI DAN BUYA HAMKA

Ada pembaca yang memprotes di kotak komentar bahwa MUI sebenarnya mengharamkan ucapan selamat Natal sejak era Buya Hamka berdasarkan sumber dari Hidayatullah.com
dengan mengutip ucapan salah satu tokoh MUI saat ini yaitu
H. Aminuddin Ya`qub. Ucapan Aminuddin Ya’qub–kalau itu benar ucapan dia– bahwa MUI mengharamkan ucapan Natal
sejak era Buya Hamka jadi ketua MUI adalah tidak akurat.
Saya adalah pembaca setia majalah Panji Masyarakat di mana Buya Hamka adalah pemrednya. Saya ingat persis tulisannya
dalam kolom “Dari Hati ke Hati” yang mengatakan bahwa dia mengharamkan umat Islam mengikuti upacara sakramen
(ritual) Natal. Tapi, kalau sekedar mengucapkan selamat Natal
atau mengikuti perayaan non-ritual tidak masalah (tidak haram).

Majalah TEMPO 16 Mei 1981 demikian:
Pada dasarnya menghadiri perayaan antaragama adalah wajar,
terkecuali yang bersifat peribadatan . . . “

Pada 30 Mei 1981 Majalah Tempo melaporkan:
Mengapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri pekan lalu mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan
oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan (sic!; maksudnya
mungkin mengharamkan -red) umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi
Isa.

Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus
MU di daerah-daerah. (TEMPO, 16 Mei 1981). Bagaimanapun,
harian Pelita 5 Mei lalu memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981.
Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MU. Yang menarik, sehari
setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan
bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan
Sekretaris Umum MUI.
Menurut SK yang sama, pada dasarnya
menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan
sejenisnya. Bagi seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan
pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual.

HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas-
ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional — termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar.

Perbedaan dalam Internal MUI
Di samping itu, rupanya masih adanya perbedaan pendapat.
Misalnya yang tercermin dalam pendapat KH Misbach, Ketua MUI Jawa Timur tentang perayaan Natal.
“Biarpun di situ kita tidak ikut bernyanyi dan berdoa, tapi kehadiran kita itu berarti
kita sudah ikut bernatal,” katanya. M nurut pendapatnya,
“Seluruh acara dalam perayaan Natal merupakan upacara
ritual. (Majalah Tempo, 30 Mei 1981).

Kesimpulan Fatwa MUI dan Hamka
Inti dari fatwa MUI era Hamka tahun 1981 adalah:

(a) haram
mengikuti ritual Natal;
(b) tidak haram menghadiri perayaan
Natal, bukan ritualnya;
(c) MUI Jawa Timur (KH. Misbach)
mengharamkan menghadiri acara Natal baik sekedar untuk mengikuti perayaannya saja atau apalagi sampai mengikuti ritualnya.
Fatwa tersebut tidak membahas soal mengucapkan ucapan
Selamat Natal.

MUI Tidak Mengharamkan ucapan Selamat Natal, kata Din Syamsuddin
Dikutip dari Hidayatullah.com Selasa, Jum’at, 23 Desember 2011:

Din Syamsuddin: “MUI Tidak Larang Ucapan Selamat Natal”
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr. Din Syamsuddin mengatakan, MUI tak melarang umat Islam memberikan ucapan “Selamat Natal”. Ibnu Qayyim dan Syaikh Muhammad
‘Utsaimîn mengatakan haram.

Link sumber: http://www.hidayatullah.com/
read/2359/11/10/2005/kanal.php?kat_id=9
FATWA MUI 1981 DIKUTIP DARI KUMPULAN FATWA MUI 1997
OLEH ERAMUSLIM.COM

Eramuslim.com mengutip khutbah Jumat Hartono Ahmad Jaiz
seputar fatwa MUI era Hamka soal Natal.
(MUI) MEMUTUSKAN
Memfatwakan
Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan
dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat
dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas. Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal. (Jakarta, 1 Jumadil Awal 1401 H, 7
Maret 1981, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Ketua K.
H. M SYUKRI GHOZALI Sekretaris Drs. H. MAS‘UDI).
Sumber: Himpunan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia 1417H/
1997, halaman 187-193)
Sumber link: Eramuslim.com

CATATAN: Dalam fatwa di atas, jelas disebutkan HARAMNYA
mengikuti kegiatan-kegiatan Natal. Bukan mengucapkan selamat Natal.

DIN SYAMSUDDIN TENTANG UCAPAN SELAMAT NATAL.

Kapanlagi.com – Ada pengakuan menarik dari Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof DR HM Din
Syamsuddin MA soal muslim memberikan ucapan selamat Natal.
“Saya tiap tahun memberi ucapan selamat Natal kepada teman-teman Kristiani,” katanya di hadapan ratusan umat
Kristiani dalam seminarWawasan Kebangsaan X BAMAG Jatim di Surabaya (10/10).

Din yang juga Sekretaris Umum MUI Pusat itu menyatakan MUI tidak melarang ucapan selamat Natal, tapi melarang orang Islam ikut sakramen/ritual Natal.

“Kalau hanya memberi ucapan selamat tidak dilarang, tapi kalau ikut dalam ibadah memang dilarang, baik orang Islam
ikut dalam ritual Natal atau orang Kristen ikut dalam ibadah orang Islam,” katanya.
Link sumber: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/74225

KESIMPULAN HUKUM UCAPAN SELAMAT NATAL

Seorang muslim yang mengucapkan Selamat Natal kepada pemeluk Nasrani hukumnya boleh menurut mayoritas ulama.
Yang haram adalah apabila mengikuti ritual atau sakramen natal.

Mengucapkan Selamat Natal itu perlu bagi umat Muslim yang memiliki tetangga, teman kuliah/sekolah, kolega kerja,
atau rekan bisnis yang beragama Nasrani sebagai sikap mutual respect.
Bagi yang tidak punya hubungan apapun dengan orang Nasrani, tentu saja ucapan itu tidak diperlukan.

Adapun pendapat yang tidak membolehkan adalah pendapat sebagian kecil ulama umumnya yang berlatarbelakang faham
Wahabi Salafi yang memang dikenal ekstrim dan intoleran bahkan kepada kelompok lain dalam Islam sendiri.

KESIMPULAN 2 HUKUM UCAPAN NATAL:

1. Ada dua hal yang menjadi polemik seputar  Natal, yaitu hukum mengucapkan selamat Natal dan hukum mengikuti perayaan ritual Natal. Hukum mengucapkan
selamat Natal masih menjadi perbedaan diantara para ulama sementara mengikuti perayaan ritual Natal
adalah haram menurut hampir semua ulama.

2. Seorang muslim yang mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk Nasrani hukumnya boleh menurut
mayoritas ulama. Ucapan selamat ini perlu bagi umat Muslim yang memiliki tetangga, teman kuliah/sekolah,
kolega kerja, atau rekan bisnis yang beragama Nasrani sebagai sikap mutual respect atau keramahtamahan.
Bagi yang tidak punya hubungan apapun dengan orang Nasrani, tentu saja ucapan itu tidak diperlukan dan
sebaiknya dihindari.

3. Adapun pendapat yang tidak membolehkan ucapan selamat Natal adalah pendapat sebagian kecil ulama
umumnya yang berlatarbelakang faham salafi wahabi yang memang dikenal ekstrim dan intoleran bahkan
kepada kelompok lain dalam Islam sendiri. Meski tidak semua yang melarang adalah berpaham salafi wahabi.

4. Seorang muslim haram mengikuti ritual atau sakramen Natal dan ini disepakati oleh hampir semua ulama.
Para ulama tidak berbeda pendapat kecuali karena memang tidak didapat dalil yang bersifat sharih dan qath’i. Seandainya
ada ayat atau hadits shahih yang secara tegas menyebutkan larangan ucapan selamat semisal Natal’, tentu semua ulama
akan sepakat. Namun, selama semua itu merupakan ijtihad
dan penafsiran dari nash yang bersifat mujmal, maka seandainya benar ijtihad itu, mujtahidnya akan mendapat 2
pahala. Dan seandainya salah, maka hanya dapat 1 pahala.

Selanjutnya, silahkan pilihan diserahkan kepada pribadi masing-masing umat Islam.

----------------

WAWANCARA PROF DR KH SAID AQIL SIROJ MA. Warga NU Tiadak Luntur Imannya Walau Ucapkan Natal.

WAWANCARA Said Aqil Siradj: Warga NU Tidak Luntur Imannya
Walau Ucapkan Selamat Natal

SUMBER : http://www.rmol.co/RMOL

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Said Aqil Siradj mengatakan, ucapan natal boleh saja disampaikan kepada umat Kristiani demi kerukunan umat beragama.

“Asal niatnya selamat atas kelahiran Isa Almasih sebagai Rasul Allah. Toh umat Kristiani juga selalu ucapkan selamat
Idul Fitri dan selamat atas kelahiran Nabi Besar Muhammad.

Lalu salahnya di mana,” kata Said Aqil Siradj, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Seperti diketahui, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Ma’aruf Amin melarang umat Islam mengucapkan Natal kepada umat Kristiani.
“Sebaiknya tidak usah saja lah (mengucapkan Natal). Tahun baru saja. Mengucapkan Natal itu masih menjadi perdebatan,”
kata Ma’ruf Amin.

Said Aqil Siradj selanjutnya mengatakan, dirinya selalu me­ ngucapkan Natal kepada tetangganya yang umat Kristen
Katolik dan Kristen Protestan.

“Saya menghormati tokoh besar yang harus kita hormati dan Nabi Isa itu adalah salah satu Nabi dari kelima Nabi yang
diberikan kebesaran dan mukjizat dari Allah. Kan umat Islam menanggapinya sebagai Nabi Allah, bukan Tuhan,’’ paparnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Tangapan Anda atas pendapat MUI itu?

Memang MUI melarang itu. Tapi menurut saya itu sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Ucapan itu kan sama seperti me­ reka mengucapkan selamat atas kelahirannya Nabi
Muhammad, Musa dan Nabi-nabi  Allah lainnya, itu kan boleh.

Kalau yang dilarang seperti apa?

Yang dilarang itu kalau ikuti ritualnya seperti yang dilakukan umat Kristiani.
Nah itu yang tidak boleh.
Kalau ucapkan selamat saja, saya rasa tidak salah.

Apa yang terkandung dari larangan MUI itu?

Kalau saya melihatnya, ada kekhawatiran ( kekhawatiran gak bisa jadi dalil) para ulama kalau mengucapkan Natal itu akidah umat Islam dapat bergesar.
Maka ada sebagian ulama yang masih melarang itu.

Kalau di NU bagaimana?

Kalau saya yakin umat Islam, terutama warga NU tidak luntur imannya kepada Allah walau walaupun mengucapkan selamat
Natal.
Saya pastikan akidahnya tidak akan bergeser dan berkurang
atau luntur imannya kepada Allah. Maka menurut saya, tidak
perlu dilarang seperti itu.

Apa ada larangan seperti itu di Al-Quran atau Hadist?

Tidak ada larangan yang spesifik tertulis dalam Al-Quran dan
Hadist. Kalau saya mengatakan selamat kepada tetangga saya
dan saudara-saudara saya yang berlainan agama, masa tidak boleh.

Anda menilai ucapan Natal itu sebagai apa?

Ucapan itu sebagai upaya menjaga dan memperkuat tali persaudaraan antar umat beragama. Kita tidak bisa membangun Ukhuwah Islamiah tanpa menghargai keberadaan agama lainnya.
Kalau dibiarkan dan berhenti pada Ukuwah Islamiah saja, kita
akan menjadi ekstrim, tertutup, eksklusif. Malah bisa jadi radikal.
Saya berharap Ukhuwah Islamiah dibangun dengan ukhuwah watoniah.

Maksudnya?

Kita sering bicara mari berjuang demi agama Islam, mari mensyiarkan agama Islam. Memperjuangkan itu kan di atas
tanah air kita. Oleh karena itu memperkuat kesatuan tanah air itu lebih penting, kemudian memperjuangkan agama Islam.

Kenapa?

Kalau tercerai-berai, bagaimana kita bisa perjuangkan Islam.
Apa perjuangkannya di langit, di awang-awang.

Seharusnya bagaimana?

Kita harus menunjukkan sikap yang baik sebagai umas Islam
sejati. Yakni dengan membangun simpati atas sesama dalam beragama.
Bersikap baik dan menghargai agama lain adalah ilmu marketing dengan membuat hubungan yang menarik dan
fleksibel.

Contohnya saja, para Wali Songo dulu baik-baik dengan orang
Hindu, masyarakat Jawa, dan dengan kerajaan Majapahit.
Lama-lama simpati itu muncul, kemudian berbondong- bondong masuk Islam.
Kalau ada larangan itu justru dikhawatirkan akan muncul an­ tipati terhadap Islam itu sendiri. Padahal keberadaan agama
Islam untuk kita semua, termasuk yang non-muslim.

Apa yang diajarkan Nabi Muhammad tentang ini?

Nabi Muhammad 13 tahun di Mekkah yang waktu itu ada 360 berhala dengan bermacam-macam nama. Bahkan ada yang di­
tempatkan di atas Ka’bah.’Tapi’Nabi tidak pernah meminta para sahabatnya untuk menghancurkan berhala itu. Tapi tetap
menjalankan ibadah berdasarkan ajaran Islam.
Setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad mampu mengua­sai Mekkah dan orang Mekkah malah berbondong-bondong
masuk Islam. Ini karena kebaikan. Baru setelah orang-orang
itu masuk Islam dengan kemauannya sendiri, lalu menghancurkan berhala itu.

Toleransi itu sudah terbangun sejak zaman Nabi Muhammad?

Ya. Bahkan Nabi Muhammad punya mertua dari Yahudi dan
Kristen. Tapi istrinya masuk Islam. Ini artinya saling menghor­ mati satu sama lain. Tidak boleh melakukan kekerasan atas
nama agama. Sebab, pada dasarnya agama tidak mengajarkan
kekerasan. [Harian Rakyat Merdeka]
________________

Mengucapkan Selamat Natal, Menurut Prof. Quraish Shihab


Dikutip dari buku 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, Quraish Shihab.

Soal:
Bolehkan kita mengucapkan salam dan atau “Selamat Natal”
kepada pemeluk Nasrani?
Jawab:
Ada hadits—antara lain diriwayatkan oleh Imam Mulis—yang
melarang seorang Muslim memulai mengucapkan salam
kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan, “Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi
dan Nasrani. Jika kamu bertemu mereka di jalan, jadikanlah
mereka terpaksa ke pinggir.”

Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut.
Dalam buku Subul as-Salam karya Muhammad bin Ismail al-
Kahlani (jil. IV, hlm. 155) antara lain dikemukakan bahwa
sebagian ulama bermadzhab Syafi’i tidak memahami larangan
tersebut dalam arti haram, sehingga mereka memperbolehkan
menyapa non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini
merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Al-Qadhi
Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan
salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh Alqamah dan al-Auza’i.

Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena agaknya larangan tersebut timbul dari sikap
permusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim. Bahkan dalam riwayat Bukhari
dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu Umar, yang menyampaikan sabda Nabi saw bahwa orang Yahudi bila
mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata,
“Assalamu’alaikum,” tetapi “Assamu’alaikum” yang berarti
“Kematian atau kecelakaan untuk Anda.”

Mengucapkan “selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak
sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus.

Sebenarna, dalam Al-Quran ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan
kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari
aku dibangkitkan hidu kembali (QS. Maryam [19]: 33).

Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama
yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi, persoalan ini
jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari
konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.

Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan
itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus. Makna
ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan “Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan
kerancuan dan kekaburan.

Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan
kesalahpahaman. Bahkan al-Quran tidak menggunakan satu
kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman,
sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak
disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika
pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai
dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai
ganti kat Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad).

Demikian wahyu pertama hingga surah al-
Ikhlas.
Nabi sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan beliau tidak sekali pun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat
yang menggunakan redaksi seperti itu, karena ia menimbulkan
kesan keberadaan Tuhan di satu tempat—suatu hal yang
mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi.

Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan
kata “ada” bagi Tuhan tetapi “wujud Tuhan”.
Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi
suci itu, memang ada di dalam Al-Quran, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran Kristen yang
keyakinannya terhadap Isa al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau
menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman
dan dapat mengantarkan kita pada pengaburan akidah. Ini
dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih,
satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam.

Dengan alasan ini, lahirlah larangan fatwa
haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai
ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas
apapun yang berkaitan atau membantu terlaksanannya
upacara Natal tidak dibenarkan.

Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan
“Selamat Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al- Quran mengaitkannya dengan ucapan Isa, “Sesungguhnya aku
ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan
aku seorang Nabi.” (QS. Maryam [19]: 30).

Nah, salahkan bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan
keyakinan itu? Bukankah al-Quran telah memberi contoh?
Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim,
Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah
setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai
hamba dan utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk Isa as, sebagaimana kita
mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul?
Tidak bolehkan kita merayakan hari lahir (natal) Isa as?
Bukankah Nabi saw juga
merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun
dengan berpuasa Asyura, sambil bersabda kepada orang- orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, “Saya
lebih wajar menyangkut Musa (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),”

maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk
berpuasa (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud), melalui Ibnu Abbas—lihat Majma; al-Fawaid, hadits ke-2.981).

Itulah, antara lain, alasan membenarkan seorang Muslim
mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.

Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan
pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih
banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur
akidahnya. Nah, kalau demikian, jika seseorang ketika
mengucapkannya tetap murni akidahnya atau
mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan
situasi di mana ia diucapkan—sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain—maka
agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seseorang membaca atau
mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an?

Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan,
al-Quran dan hadits Nabi memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan
persepsinya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh
pengucapnya, karena si pengucap sendiri mengucapkan dan
memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan persepsinya pula. Di sini, kalaupun non-Muslim memahami
ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka
biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya
mengucapkan sesuai dengan penggarisan keyakinannya.

Tidak keliru, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan mengucapkan “Selamat Natal”, bila larangan itu ditujukan
kepada yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Akan tetapi,
tidak juga salah yang membolehkannya selama pengucapnya
arif bijaksana dan tetap memelihara akidahnya, lebih-lebih
jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
Boleh jadi, pendapat ini dapat didukung dengan menganalogikannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh
beberapa ulama yang menyatakan bahwa seorang Nasrani bila
menyembelih binatang halal atas nama al-Masih, maka sembelihan tersebut boleh dimakan Muslim, baik penyebutan
tersebut diartikan sebagai permohonan shalawat dan salam
untuk beliau maupun dengan arti apa pun. Demikian dikutip al-
Biqa’i dalam tafsirnya ketika menjelaska QS. Al-An’am [6]:
121, dari kitab ar-Raudhah .

Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.
Demikian, wallahu a’lam .

*Dikutip dari buku 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui , Quraish Shihab.

Kamis, 13 November 2014

Dakwah vs Menakut-nakuti

SUMBER: www.gusmus.net

Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri

Seorang kawan budayawan dari satu daerah di Jawa Tengah yang biasanya hanya SMS-an dengan saya, tiba-tiba siang itu
menelpon. Dengan nada khawatir, dia melaporkan kondisi kemasyarakatan dan keagamaan di kampungnya. Keluhnya
antara lain,“Kalau ada kekerasan di Jakarta oleh kelompok warga yang mengaku muslim terhadap saudara-saudaranya
sebangsa yang mereka anggap kurang menghargai Islam, mungkin itu politis masalahnya. Tapi ini di kampung, Gus,
sudah ada kelompok yang sikapnya seperti paling Islam sendiri. Mereka dengan semangat jihad, memaksakan
pahamnya ke masyarakat. Sasarannya jamaah-jamaah di masjid dan surau. Rakyat pada takut. Bahkan, na’udzu billah,
Gus, saking takutnya ada yang sampai keluar dari Islam. Ini bagaimana? Harus ada yang mengawani masyarakat, Gus.
NU dan Muhammadiyah kok diam saja ya?”

Kondisi yang dilaporkan kawan saya itu bukanlah satu- satunya laporan yang saya terima. Ya, akhir-akhir ini sikap
perilaku keberagamaan yang keras model zaman Jahiliyah semakin merebak. Hujjah-nya, tidak tanggung-tanggung
seperti membela Islam, menegakkan syariat, amar makruf nahi munkar, memurnikan agama, dsb.

Cirinya yang menonjol :
sikap merasa benar sendiri dan karenanya bila bicara suka menghina dan melecehkan mereka yang tidak sepaham. Suka
memaksa dan bertindak keras dan kasar kepada golongan lain yang mereka anggap sesat. Seandainya kita tidak melihat
mereka berpakaian Arab dan sering meneriakkan “Allahu Akbar!”, kita sulit mengatakan mereka itu orang-orang Islam.
Apalagi bila kita sudah mengenal pemimpin tertinggi dan panutan kaum muslimin, Nabi Muhmmad SAW.

Seperti kita ketahui, Nabi kita yang diutus Allah menyampaikan firman-Nya kepada hamba-hamba-Nya, adalah contoh
manusia paling manusia. Manusia yang mengerti manusia dan memanusiakan manusia. Rasulullah SAW seperti bisa dengan
mudah kita kenal melalui sirah dan sejarah kehidupannya, adalah pribadi yang sangat lembut, ramah dan menarik. Diam
dan bicaranya menyejukkan dan menyenangkan. Beliau tidak
pernah bertindak atau berbicara kasar.

ﺭﻭﻯ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ : ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺒﺎﺑﺎ ﻭﻻ ﻟﻤﺎﻣﺎ ﻭﻻ ﻓﺎﺣﺸﺎ

Sahabat Anas r.a yang lama melayani Rasulullah SAW, seperti
diriwayatkan imam Bukhari, menuturkan bahwa Rasulullah SAW bukanlah pencaci, bukan orang yang suka mencela, dan
bukan orang yang kasar.

ﻭﺭﻭﻯ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ : ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺎﺣﺸﺎ ﻭﻻ ﻣﺘﻔﺎﺣﺸﺎ ﻭﻻ ﺻﺨﺎﺑﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﺳﻮﺍﻕ

Sementara menurut riwayat Imam Turmudzi, dari sahabat Abu Hurairah r.a: Rasulullah SAW pribadinya tidak kasar, tidak keji,
dan tidak suka berteriak-teriak di pasar.
Ini sesuai dengan firman Allah sendiri kepada Rasulullah SAW di (Q. 3: 159),
“Fabima rahmatin minallaahi linta lahum walau kunta fazhzhan ghaliizhalqalbi lanfadhdhuu min haulika …” ,
Maka disebabkan rahmat dari Alllah, kamu lemah lembut kepada mereka. Seandainya kamu berperangai keras berhati
kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…”

Jadi, kita tidak bisa mengerti bila ada umat Nabi Muhammad SAW, berlaku kasar, keras dan kejam. Ataukah mereka tidak
mengenal pemimpin agung mereka yang begitu berbudi, lemah- lembut dan menyenangkan; atau mereka mempunyai
panutan lain dengan doktrin lain.
Atau mungkin sikap mereka yang demikian itu merupakan reaksi belaka dari kezaliman Amerika dan Yahudi/Israel. Kalau
memang ya, bukankah kitab suci kita al-Quran sudah mewanti-wanti, berpesan dengan sangat agar kita tidak
terseret oleh kebencian kita kepada suatu kaum untuk berlaku tidak adil.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak kebenaran karena Allah (bukan karena yang
lain-lain!), menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali- kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah; adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Baca Q. 5: 9).

Hampir semua orang Islam mengetahui bahwa Rasulullah SAW diutus utamanya untuk menyempurnakan Ahlak / budi pekerti. Karena
itu, Rasulullah SAW sendiri budi pekertinya sangat luhur (Qs. 68: 4).

Mencontohkan dan mengajarkan keluhuran budi. Sehingga semua orang tertarik . Ini sekaligus merupakan
pelaksanaan perintah Allah untuk berdakwah. Berdakwah adalah menarik orang bukan membuat orang lari. (Baca lagi Q. 3: 159!).

Bagaimana orang tertarik dengan agama yang dai- dainya sangar dan bertindak kasar tidak berbudi?
Melihat perilaku mereka yang bicara kasar dan tengik, bertindak brutal sewenang-wenang sambil membawa-bawa simbol-simbol Islam, saya kadang-kadang curiga, jangan-
jangan mereka ini antek-antek Yahudi yang ditugasi mencemarkan agama Islam dengan berkedok Islam. Kalau
tidak, bagaimana ada orang Islam, apalagi sudah dipanggil ustadz, begitu bodoh: tidak bisa membedakan antara dakwah
yang mengajak orang dengan menakut-nakuti yang membuat orang lari. Bagaimana mengajak orang mengikuti Rasulullah
SAW dengan sikap dan kelakuan yang berlawanan dengan sikap dan perilaku Rasulullah SAW?

Rabu, 12 November 2014

Tafsir La ikraha fi Diin .(QS, al- Baqarah [2] : 256),

Ayat Toleransi
Q.S. Al-Baqarah/2 ayat

ﻻ ﺇﻛﺮﺍﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻗﺪ ﺗﺒﻴﻦ ﺍﻟﺮﺷﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﻲ ﻓﻤﻦ ﻳﻜﻔﺮ ﺑﺎﻟﻄﺎﻏﻮﺕ ﻭﻳﺆﻣﻦ
ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻓﻘﺪ ﺍﺳﺘﻤﺴﻚ ﺑﺎﻟﻌﺮﻭﺓ ﺍﻟﻮﺛﻘﻰ ﻻ ﺍﻧﻔﺼﺎﻡ ﻟﻬﺎ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺳﻤﻴﻊ ﻋﻠﻴﻢ

Artinya
tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada
thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak
akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Tafsir Imam al-Zamakhsyari (w. 538 H ‏)

ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﻜﺸﺎﻑ / ﺍﻟﺰﻣﺨﺸﺮﻱ ‏( ﺕ 538 ﻫـ ‏( ﻣﺼﻨﻒ ﻭ ﻣﺪﻗﻖ
} ﻻ ﺇِﻛْﺮَﺍﻩَ ﻓِﻰ ﭐﻟﺪّﻳﻦِ { ﺃﻱ ﻟﻢ ﻳﺠﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻣﺮ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﺟﺒﺎﺭ ﻭﺍﻟﻘﺴﺮ،
ﻭﻟﻜﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻤﻜﻴﻦ ﻭﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭ . ﻭﻧﺤﻮﻩ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :
{ ﻭَﻟَﻮْ ﺷَﺎﺀ ﺭَﺑُّﻚَ ﻵﻣَﻦَ ﻣَﻦ ﻓِﻰ ﭐﻻْﺭْﺽِ ﻛُﻠُّﻬُﻢْ ﺟَﻤِﻴﻌًﺎ ﺃَﻓَﺄَﻧﺖَ ﺗُﻜْﺮِﻩُ ﭐﻟﻨَّﺎﺱَ ﺣَﺘَّﻰٰ
ﻳَﻜُﻮﻧُﻮﺍْ ﻣُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ }
‏[ ﻳﻮﻧﺲ : 99]

ﺃﻱ ﻟﻮ ﺷﺎﺀ ﻟﻘﺴﺮﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻞ، ﻭﺑﻨﻰ ﺍﻷﻣﺮ
ﻋﻠﻰ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭ { ﻗَﺪ ﺗَّﺒَﻴَّﻦَ ﭐﻟﺮُّﺷْﺪُ ﻣِﻦَ ﭐﻟْﻐَﻲِّ { ﻗﺪ ﺗﻤﻴﺰ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮ
ﺑﺎﻟﺪﻻﺋﻞ ﺍﻟﻮﺍﺿﺤﺔ } ﻓَﻤَﻦْ ﻳَﻜْﻔُﺮْ ﺑِﭑﻟﻄَّـٰﻐُﻮﺕِ { ﻓﻤﻦ ﺍﺧﺘﺎﺭ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺑﺎﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﺃﻭ
ﺍﻷﺻﻨﺎﻡ ﻭﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﺎﻟﻠﻪ } ﻓَﻘَﺪِ ﭐﺳْﺘَﻤْﺴَﻚَ ﺑِﭑﻟْﻌُﺮْﻭَﺓِ ﭐﻟْﻮُﺛْﻘَﻰٰ { ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺒﻞ
ﺍﻟﻮﺛﻴﻖ ﺍﻟﻤﺤﻜﻢ، ﺍﻟﻤﺄﻣﻮﻥ ﺍﻧﻔﺼﺎﻣﻬﺎ، ﺃﻱ ﺍﻧﻘﻄﺎﻋﻬﺎ .ﻭﻫﺬﺍ ﺗﻤﺜﻴﻞ ﻟﻠﻤﻌﻠﻮﻡ
ﺑﺎﻟﻨﻈﺮ، ﻭﺍﻻﺳﺘﺪﻻﻝ ﺑﺎﻟﻤﺸﺎﻫﺪ ﺍﻟﻤﺤﺴﻮﺱ، ﺣﺘﻰ ﻳﺘﺼﻮّﺭﻩ ﺍﻟﺴﺎﻣﻊ ﻛﺄﻧﻪ
ﻳﻨﻈﺮ ﺇﻟﻴﻪ ﺑﻌﻴﻨﻪ، ﻓﻴﺤﻜﻢ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩﻩ ﻭﺍﻟﺘﻴﻘﻦ ﺑﻪ . ﻭﻗﻴﻞ : ﻫﻮ ﺇﺧﺒﺎﺭ ﻓﻲ ﻣﻌﻨﻰ
ﺍﻟﻨﻬﻲ، ﺃﻱ ﻻ ﺗﺘﻜﺮﻫﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ . ﺛﻢ ﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ : ﻫﻮ ﻣﻨﺴﻮﺥ ﺑﻘﻮﻟﻪ :
{ ﺟَـٰﻬِﺪِ ﭐﻟْﻜُﻔَّـٰﺮَ ﻭَﭐﻟْﻤُﻨَـٰﻔِﻘِﻴﻦَ ﻭَﭐﻏْﻠُﻆْ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ }
‏] ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ : 73 ‏]

ﻭﻗﻴﻞ : ﻫﻮ ﻓﻲ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺧﺎﺻﺔ ﻷﻧﻬﻢ ﺣﺼﻨﻮﺍ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﺑﺄﺩﺍﺀ ﺍﻟﺠﺰﻳﺔ
ﻭﺭﻭﻱ .
(148) ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﻣﻦ ﺑﻨﻲ ﺳﺎﻟﻢ ﺑﻦ ﻋﻮﻑ ﺍﺑﻨﺎﻥ ﻓﺘﻨﺼﺮﺍ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ
ﻳﺒﻌﺚ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﺛﻢ ﻗﺪﻣﺎ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻓﻠﺰﻣﻬﻤﺎ ﺃﺑﻮﻫﻤﺎ
ﻭﻗﺎﻝ : ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﺃﺩﻋﻜﻤﺎ ﺣﺘﻰ ﺗﺴﻠﻤﺎ، ﻓﺄﺑﻴﺎ ﻓﺎﺧﺘﺼﻤﻮﺍ ﺇﻟﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ : ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻳﺪﺧﻞ ﺑﻌﻀﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻭﺃﻧﺎ
ﺃﻧﻈﺮ؟ ﻓﻨﺰﻟﺖ : ﻓﺨﻼﻫﻤﺎ

Tafsir Mafatih al-Ghaib Imam al-Razi (w.606H‏)

ﺗﻔﺴﻴﺮ ﻣﻔﺎﺗﻴﺢ ﺍﻟﻐﻴﺐ ، ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ / ﺍﻟﺮﺍﺯﻱ ‏( ﺕ 606 ﻫـ ‏( ﻣﺼﻨﻒ ﻭ
ﻣﺪﻗﻖ
ﻓﻴﻪ ﻣﺴﺄﻟﺘﺎﻥ :
ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺍﻷﻭﻟﻰ : ﺍﻟﻼﻡ ﻓﻲ } ﭐﻟﺪّﻳﻦِ { ﻓﻴﻪ ﻗﻮﻻﻥ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﺃﻧﻪ ﻻﻡ ﺍﻟﻌﻬﺪ
ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﺃﻧﻪ ﺑﺪﻝ ﻣﻦ ﺍﻹﺿﺎﻓﺔ، ﻛﻘﻮﻟﻪ
{ ﻓَﺈِﻥَّ ﭐﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﻫِﻰَ ﭐﻟْﻤَﺄْﻭَﻯٰ }
‏]ﺍﻟﻨﺎﺯﻋﺎﺕ : 41 ‏]

ﺃﻱ ﻣﺄﻭﺍﻩ، ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻓﻲ ﺩﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ .
ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ : ﻓﻲ ﺗﺄﻭﻳﻞ ﺍﻵﻳﺔ ﻭﺟﻮﻩ ﺃﺣﺪﻫﺎ : ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺃﺑﻲ ﻣﺴﻠﻢ
ﻭﺍﻟﻘﻔﺎﻝ ﻭﻫﻮ ﺍﻷﻟﻴﻖ ﺑﺄﺻﻮﻝ ﺍﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ : ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﺎ ﺑﻨﻰ ﺃﻣﺮ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ
ﻋﻠﻰ ﺍﻹﺟﺒﺎﺭ ﻭﺍﻟﻘﺴﺮ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺑﻨﺎﻩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻤﻜﻦ ﻭﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭ، ﺛﻢ ﺍﺣﺘﺞ ﺍﻟﻘﻔﺎﻝ
ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﺄﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻤﺎ ﺑﻴّﻦ ﺩﻻﺋﻞ ﺍﻟﺘﻮﺣﻴﺪ ﺑﻴﺎﻧﺎً ﺷﺎﻓﻴﺎً
ﻗﺎﻃﻌﺎً ﻟﻠﻌﺬﺭ، ﻗﺎﻝ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ : ﺇﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺒﻖ ﺑﻌﺪ ﺇﻳﻀﺎﺡ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺪﻻﺋﻞ ﻟﻠﻜﺎﻓﺮ
ﻋﺬﺭ ﻓﻲ ﺍﻹﻗﺎﻣﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻘﺴﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻭﻳﺠﺒﺮ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﺫﻟﻚ
ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻓﻲ ﺩﺍﺭ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺍﻟﺘﻲ ﻫﻲ ﺩﺍﺭ ﺍﻻﺑﺘﻼﺀ، ﺇﺫ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻬﺮ ﻭﺍﻹﻛﺮﺍﻩ
ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻄﻼﻥ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻻﺑﺘﻼﺀ ﻭﺍﻻﻣﺘﺤﺎﻥ، ﻭﻧﻈﻴﺮ ﻫﺬﺍ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :
{ ﻓَﻤَﻦ ﺷَﺎﺀ ﻓَﻠْﻴُﺆْﻣِﻦ ﻭَﻣَﻦ ﺷَﺎﺀ ﻓَﻠْﻴَﻜْﻔُﺮْ }
‏] ﺍﻟﻜﻬﻒ : 29 ‏]

ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺳﻮﺭﺓ ﺃﺧﺮﻯ
{ ﻭَﻟَﻮْ ﺷَﺎﺀ ﺭَﺑُّﻚَ ﻵﻣَﻦَ ﻣَﻦ ﻓِﻰ ﭐﻷَﺭْﺽِ ﻛُﻠُّﻬُﻢْ ﺟَﻤِﻴﻌًﺎ ﺃَﻓَﺄَﻧﺖَ ﺗُﻜْﺮِﻩُ ﭐﻟﻨَّﺎﺱَ ﺣَﺘَّﻰٰ
ﻳَﻜُﻮﻧُﻮﺍْ ﻣُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ }
‏] ﺍﻟﺸﻌﺮﺍﺀ : 3 ‏[ 4 ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺸﻌﺮﺍﺀ } ﻟَﻌَﻠَّﻚَ ﺑَـٰﺨِﻊٌ ﻧَّﻔْﺴَﻚَ ﺃَﻻَّ ﻳَﻜُﻮﻧُﻮﺍْ
ﻣُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﺇِﻥ ﻧَّﺸَﺄْ ﻧُﻨَﺰّﻝْ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻣّﻦَ ﭐﻟﺴَّﻤَﺎﺀ ﺀَﺍﻳَﺔً ﻓَﻈَﻠَّﺖْ ﺃَﻋْﻨَـٰﻘُﻬُﻢْ ﻟَﻬَﺎ
ﺧَـٰﻀِﻌِﻴﻦَ { ﻭﻣﻤﺎ ﻳﺆﻛﺪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺃﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻗﺎﻝ ﺑﻌﺪ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ } ﻗَﺪ ﺗَّﺒَﻴَّﻦَ
ﭐﻟﺮُّﺷْﺪُ ﻣِﻦَ ﭐﻟْﻐَﻲّ } ﻳﻌﻨﻲ ﻇﻬﺮﺕ ﺍﻟﺪﻻﺋﻞ، ﻭﻭﺿﺤﺖ ﺍﻟﺒﻴﻨﺎﺕ، ﻭﻟﻢ ﻳﺒﻖ ﺑﻌﺪﻫﺎ
ﺇﻻ ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻟﻘﺴﺮ ﻭﺍﻹﻟﺠﺎﺀ ﻭﺍﻹﻛﺮﺍﻩ، ﻭﺫﻟﻚ ﻏﻴﺮ ﺟﺎﺋﺰ ﻷﻧﻪ ﻳﻨﺎﻓﻲ ﺍﻟﺘﻜﻠﻴﻒ
ﻓﻬﺬﺍ ﺗﻘﺮﻳﺮ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻞ .
ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻞ ﻫﻮ ﺃﻥ ﺍﻹﻛﺮﺍﻩ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﻟﻠﻜﺎﻓﺮ : ﺇﻥ
ﺁﻣﻨﺖ ﻭﺇﻻ ﻗﺘﻠﺘﻚ ﻓﻘﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ : } ﻻ ﺇِﻛْﺮَﺍﻩَ ﻓِﻰ ﭐﻟﺪّﻳﻦِ { ﺃﻣﺎ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺃﻫﻞ
ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﻤﺠﻮﺱ، ﻓﻸﻧﻬﻢ ﺇﺫﺍ ﻗﺒﻠﻮﺍ ﺍﻟﺠﺰﻳﺔ ﺳﻘﻂ ﺍﻟﻘﺘﻞ ﻋﻨﻬﻢ،
ﻭﺃﻣﺎ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﻓﺈﺫﺍ ﺗﻬﻮﺩﻭﺍ ﺃﻭ ﺗﻨﺼﺮﻭﺍ ﻓﻘﺪ ﺍﺧﺘﻠﻒ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻓﻴﻬﻢ، ﻓﻘﺎﻝ
ﺑﻌﻀﻬﻢ : ﺇﻧﻪ ﻳﻘﺮ ﻋﻠﻴﻪ؛ ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺘﻘﺪﻳﺮ ﻳﺴﻘﻂ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﻘﺘﻞ ﺇﺫﺍ ﻗﺒﻞ
ﺍﻟﺠﺰﻳﺔ، ﻭﻋﻠﻰ ﻣﺬﻫﺐ ﻫﺆﻻﺀ ﻛﺎﻥ ﻗﻮﻟﻪ } ﻻ ﺇِﻛْﺮَﺍﻩَ ﻓِﻰ ﭐﻟﺪّﻳﻦِ { ﻋﺎﻣﺎً ﻓﻲ ﻛﻞ
ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ، ﺃﻣﺎ ﻣﻦ ﻳﻘﻮﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﺑﺄﻥ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﺇﺫﺍ ﺗﻬﻮﺩﻭﺍ ﺃﻭ ﺗﻨﺼﺮﻭﺍ
ﻓﺈﻧﻬﻢ ﻻ ﻳﻘﺮﻭﻥ ﻋﻠﻴﻪ، ﻓﻌﻠﻰ ﻗﻮﻟﻪ ﻳﺼﺢ ﺍﻹﻛﺮﺍﻩ ﻓﻲ ﺣﻘﻬﻢ، ﻭﻛﺎﻥ ﻗﻮﻟﻪ } ﻻ
ﺇِﻛْﺮَﺍﻩَ { ﻣﺨﺼﻮﺻﺎً ﺑﺄﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ .
ﻭﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ : ﻻ ﺗﻘﻮﻟﻮﺍ ﻟﻤﻦ ﺩﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺤﺮﺏ ﺇﻧﻪ ﺩﺧﻞ ﻣﻜﺮﻫﺎً،
ﻷﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﺭﺿﻲ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺤﺮﺏ ﻭﺻﺢ ﺇﺳﻼﻣﻪ ﻓﻠﻴﺲ ﺑﻤﻜﺮﻩ، ﻭﻣﻌﻨﺎﻩ ﻻ
ﺗﻨﺴﺒﻮﻫﻢ ﺇﻟﻰ ﺍﻹﻛﺮﺍﻩ، ﻭﻧﻈﻴﺮﻩ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :
{ ﻭَﻻَ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍْ ﻟِﻤَﻦْ ﺃَﻟْﻘَﻰ ﺇِﻟَﻴْﻜُﻢُ ﭐﻟﺴَّﻠَـٰﻢَ ﻟَﺴْﺖَ ﻣُﺆْﻣِﻨﺎً }
‏] ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : 94 [.

ﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : } ﻗَﺪ ﺗَّﺒَﻴَّﻦَ ﭐﻟﺮُّﺷْﺪُ ﻣِﻦَ ﭐﻟْﻐَﻲّ { ﻓﻔﻴﻪ ﻣﺴﺄﻟﺘﺎﻥ :
ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺍﻷﻭﻟﻰ : ﻳﻘﺎﻝ : ﺑﺎﻥ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻭﺍﺳﺘﺒﺎﻥ ﻭﺗﺒﻴﻦ ﺇﺫﺍ ﻇﻬﺮ ﻭﻭﺿﺢ، ﻭﻣﻨﻪ
ﺍﻟﻤﺜﻞ : ﻗﺪ ﺗﺒﻴﻦ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻟﺬﻱ ﻋﻴﻨﻴﻦ، ﻭﻋﻨﺪﻱ ﺃﻥ ﺍﻹﻳﻀﺎﺡ ﻭﺍﻟﺘﻌﺮﻳﻒ ﺇﻧﻤﺎ
ﺳﻤﻲ ﺑﻴﺎﻧﺎً ﻷﻧﻪ ﻳﻮﻗﻊ ﺍﻟﻔﺼﻞ ﻭﺍﻟﺒﻴﻨﻮﻧﺔ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻭﻏﻴﺮﻩ، ﻭﺍﻟﺮﺷﺪ ﻓﻲ
ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺇﺻﺎﺑﺔ ﺍﻟﺨﻴﺮ، ﻭﻓﻴﻪ ﻟﻐﺘﺎﻥ : ﺭﺷﺪ ﻭﺭﺷﺪ ﻭﺍﻟﺮﺷﺎﺩ ﻣﺼﺪﺭ ﺃﻳﻀﺎً
ﻛﺎﻟﺮﺷﺪ، ﻭﺍﻟﻐﻲ ﻧﻘﻴﺾ ﺍﻟﺮﺷﺪ، ﻳﻘﺎﻝ ﻏﻮﻯ ﻳﻐﻮﻱ ﻏﻴﺎً ﻭﻏﻮﺍﻳﺔ، ﺇﺫﺍ ﺳﻠﻚ ﻏﻴﺮ
ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻟﺮﺷﺪ .
ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ : { ﺗَّﺒَﻴَّﻦَ ﭐﻟﺮُّﺷْﺪُ ﻣِﻦَ ﭐﻟْﻐَﻲّ { ﺃﻱ ﺗﻤﻴﺰ ﺍﻟﺤﻖ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ،
ﻭﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻭﺍﻟﻬﺪﻯ ﻣﻦ ﺍﻟﻀﻼﻟﺔ ﺑﻜﺜﺮﺓ ﺍﻟﺤﺠﺞ ﻭﺍﻵﻳﺎﺕ ﺍﻟﺪﺍﻟﺔ، ﻗﺎﻝ
ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ : ﻭﻣﻌﻨﻰ { ﻗَﺪ ﺗَّﺒَﻴَّﻦَ ﭐﻟﺮُّﺷْﺪُ { ﺃﻱ ﺃﻧﻪ ﻗﺪ ﺍﺗﻀﺢ ﻭﺍﻧﺠﻠﻰ ﺑﺎﻷﺩﻟﺔ ﻻ
ﺃﻥ ﻛﻞ ﻣﻜﻠﻒ ﺗﻨﺒﻪ ﻷﻥ ﺍﻟﻤﻌﻠﻮﻡ ﺫﻟﻚ ﻭﺃﻗﻮﻝ : ﻗﺪ ﺫﻛﺮﻧﺎ ﺃﻥ ﻣﻌﻨﻰ } ﺗَّﺒَﻴَّﻦَ {
ﺍﻧﻔﺼﻞ ﻭﺍﻣﺘﺎﺯ، ﻓﻜﺎﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺃﻧﻪ ﺣﺼﻠﺖ ﺍﻟﺒﻴﻨﻮﻧﺔ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺮﺷﺪ ﻭﺍﻟﻐﻲ ﺑﺴﺒﺐ
ﻗﻮﺓ ﺍﻟﺪﻻﺋﻞ ﻭﺗﺄﻛﻴﺪ ﺍﻟﺒﺮﺍﻫﻴﻦ، ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻣُﺠْﺮَﻯ ﻋﻠﻰ ﻇﺎﻫﺮﻩ .
ﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : } ﻓَﻤَﻦْ ﻳَﻜْﻔُﺮْ ﺑِﭑﻟﻄَّـٰﻐُﻮﺕِ { ﻓﻘﺪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺤﻮﻳﻮﻥ : ﺍﻟﻄﺎﻏﻮﺕ
ﻭﺯﻧﻪ ﻓﻌﻠﻮﺕ، ﻧﺤﻮ ﺟﺒﺮﻭﺕ، ﻭﺍﻟﺘﺎﺀ ﺯﺍﺋﺪﺓ ﻭﻫﻲ ﻣﺸﺘﻘﺔ ﻣﻦ ﻃﻐﺎ، ﻭﺗﻘﺪﻳﺮﻩ
ﻃﻐﻮﻭﺕ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻻﻡ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻗﻠﺒﺖ ﺇﻟﻰ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﻌﻴﻦ ﻛﻌﺎﺩﺗﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻠﺐ،
ﻧﺤﻮ : ﺍﻟﺼﺎﻗﻌﺔ ﻭﺍﻟﺼﺎﻋﻘﺔ، ﺛﻢ ﻗﻠﺒﺖ ﺍﻟﻮﺍﻭ ﺃﻟﻔﺎً ﻟﻮﻗﻮﻋﻬﺎ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﺣﺮﻛﺔ
ﻭﺍﻧﻔﺘﺎﺡ ﻣﺎ ﻗﺒﻠﻬﺎ، ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﺒﺮﺩ ﻓﻲ ﺍﻟﻄﺎﻏﻮﺕ : ﺍﻷﺻﻮﺏ ﻋﻨﺪﻱ ﺃﻧﻪ ﺟﻤﻊ ﻗﺎﻝ
ﺃﺑﻮ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﻔﺎﺭﺳﻲ : ﻭﻟﻴﺲ ﺍﻷﻣﺮ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻛﺬﻟﻚ، ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﺍﻟﻄﺎﻏﻮﺕ ﻣﺼﺪﺭ
ﻛﺎﻟﺮﻏﺒﻮﺕ ﻭﺍﻟﺮﻫﺒﻮﺕ ﻭﺍﻟﻤﻠﻜﻮﺕ، ﻓﻜﻤﺎ ﺃﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺳﻤﺎﺀ ﺁﺣﺎﺩ ﻛﺬﻟﻚ ﻫﺬﺍ
ﺍﻻﺳﻢ ﻣﻔﺮﺩ ﻭﻟﻴﺲ ﺑﺠﻤﻊ، ﻭﻣﻤﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻣﺼﺪﺭ ﻣﻔﺮﺩ ﻗﻮﻟﻪ } ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺅُﻫُﻢُ
ﭐﻟﻄَّـٰﻐُﻮﺕُ { ﻓﺄﻓﺮﺩ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﺠﻤﻊ، ﻛﻤﺎ ﻳﻘﺎﻝ : ﻫﻢ ﺭﺿﺎﻫﻢ ﻋﺪﻝ، ﻗﺎﻟﻮﺍ :
ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻳﻘﻊ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺠﻤﻊ، ﺃﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﻓﻜﻤﺎ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ
ﺗﻌﺎﻟﻰ :
{ ﻳُﺮِﻳﺪُﻭﻥَ ﺃَﻥ ﻳَﺘَﺤَﺎﻛَﻤُﻮﺍْ ﺇِﻟَﻰ ﭐﻟﻄَّـٰﻐُﻮﺕِ ﻭَﻗَﺪْ ﺃُﻣِﺮُﻭﺍْ ﺃَﻥ ﻳَﻜْﻔُﺮُﻭﺍْ ﺑِﻪِ }
‏[ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : 60 ‏]

ﻭﺃﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﻤﻊ ﻓﻜﻤﺎ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :
} ﻭَﭐﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍْ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺅُﻫُﻢُ ﭐﻟﻄَّـٰﻐُﻮﺕُ }
‏[ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ 257 : ‏]

ﻭﻗﺎﻟﻮﺍ : ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺘﺬﻛﻴﺮ، ﻓﺄﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ :
{ ﻭَﭐﻟَّﺬِﻳﻦَ ﭐﺟْﺘَﻨَﺒُﻮﺍْ ﭐﻟﻄَّـٰﻐُﻮﺕَ ﺃَﻥ ﻳَﻌْﺒُﺪُﻭﻫَﺎ {
‏] ﺍﻟﺰﻣﺮ : 17 ‏] ﻓﺈﻧﻤﺎ ﺃﻧﺜﺖ ﺇﺭﺍﺩﺓ ﺍﻵﻟﻬﺔ .
ﺇﺫﺍ ﻋﺮﻓﺖ ﻫﺬﺍ ﻓﻨﻘﻮﻝ : ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻤﻔﺴﺮﻭﻥ ﻓﻴﻪ ﺧﻤﺴﺔ ﺃﻗﻮﺍﻝ ﺍﻷﻭﻝ : ﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ
ﻭﻣﺠﺎﻫﺪ ﻭﻗﺘﺎﺩﺓ ﻫﻮ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﻗﺎﻝ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺟﺒﻴﺮ : ﺍﻟﻜﺎﻫﻦ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ :
ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻌﺎﻟﻴﺔ : ﻫﻮ ﺍﻟﺴﺎﺣﺮ ﺍﻟﺮﺍﺑﻊ : ﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺍﻷﺻﻨﺎﻡ ﺍﻟﺨﺎﻣﺲ : ﺃﻧﻪ
ﻣﺮﺩﺓ ﺍﻟﺠﻦ ﻭﺍﻹﻧﺲ ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﻄﻐﻰ، ﻭﺍﻟﺘﺤﻘﻴﻖ ﺃﻧﻪ ﻟﻤﺎ ﺣﺼﻞ ﺍﻟﻄﻐﻴﺎﻥ ﻋﻨﺪ
ﺍﻻﺗﺼﺎﻝ ﺑﻬﺬﻩ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺟﻌﻠﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺃﺳﺒﺎﺑﺎً ﻟﻠﻄﻐﻴﺎﻥ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ
{ ﺭَﺏّ ﺇِﻧَّﻬُﻦَّ ﺃَﺿْﻠَﻠْﻦَ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻣّﻦَ ﭐﻟﻨَّﺎﺱ }
‏] ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ : 36 [.

ﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ } ﻭَﻳُﺆْﻣِﻦ ﺑِﭑﻟﻠَّﻪِ { ﻓﻔﻴﻪ ﺇﺷﺎﺭﺓ ﺇﻟﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺑﺪ ﻟﻠﻜﺎﻓﺮ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻳﺘﻮﺏ
ﺃﻭﻻً ﻋﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮ، ﺛﻢ ﻳﺆﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ .
ﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ } ﻓَﻘَﺪِ ﭐﺳْﺘَﻤْﺴَﻚَ ﺑِﭑﻟْﻌُﺮْﻭَﺓِ ﭐﻟْﻮُﺛْﻘَﻰٰ { ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻳﻘﺎﻝ : ﺍﺳﺘﻤﺴﻚ
ﺑﺎﻟﺸﻲﺀ ﺇﺫﺍ ﺗﻤﺴﻚ ﺑﻪ ﻭﺍﻟﻌﺮﻭﺓ ﺟﻤﻌﻬﺎ ﻋﺮﺍ ﻧﺤﻮ ﻋﺮﻭﺓ ﺍﻟﺪﻟﻮ ﻭﺍﻟﻜﻮﺯ ﻭﺇﻧﻤﺎ
ﺳﻤﻴﺖ ﺑﺬﻟﻚ، ﻷﻥ ﺍﻟﻌﺮﻭﺓ ﻋﺒﺎﺭﺓ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﻪ ﻭﺍﻟﻮﺛﻘﻰ
ﺗﺄﻧﻴﺚ ﺍﻷﻭﺛﻖ، ﻭﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺑﺎﺏ ﺍﺳﺘﻌﺎﺭﺓ ﺍﻟﻤﺤﺴﻮﺱ ﻟﻠﻤﻌﻘﻮﻝ، ﻷﻥ ﻣﻦ ﺃﺭﺍﺩ
ﺇﻣﺴﺎﻙ ﺷﻲﺀ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﻌﺮﻭﺗﻪ، ﻓﻜﺬﺍ ﻫٰﻬﻨﺎ ﻣﻦ ﺃﺭﺍﺩ ﺇﻣﺴﺎﻙ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺗﻌﻠﻖ
ﺑﺎﻟﺪﻻﺋﻞ ﺍﻟﺪﺍﻟﺔ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﻟﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺩﻻﺋﻞ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺃﻗﻮﻯ ﺍﻟﺪﻻﺋﻞ ﻭﺃﻭﺿﺤﻬﺎ، ﻻ
ﺟﺮﻡ ﻭﺻﻔﻬﺎ ﺑﺄﻧﻬﺎ ﺍﻟﻌﺮﻭﺓ ﺍﻟﻮﺛﻘﻰ .
ﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ } ﻻَ ﭐﻧﻔِﺼَﺎﻡَ ﻟَﻬَﺎ { ﻓﻔﻴﻪ ﻣﺴﺎﺋﻞ :
ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺍﻷﻭﻟﻰ : ﺍﻟﻔﺼﻢ ﻛﺴﺮ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺇﺑﺎﻧﺔ، ﻭﺍﻻﻧﻔﺼﺎﻡ ﻣﻄﺎﻭﻉ
ﺍﻟﻔﺼﻢ ﻓﺼﻤﺘﻪ ﻓﺎﻧﻔﺼﻢ ﻭﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﺍﻟﻤﺒﺎﻟﻐﺔ، ﻷﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ
ﻟﻬﺎ ﺍﻧﻔﺼﺎﻡ، ﻓﺈﻥ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻬﺎ ﺍﻧﻘﻄﺎﻉ ﺃﻭﻟﻰ .
ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ : ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺤﻮﻳﻮﻥ : ﻧﻈﻢ ﺍﻵﻳﺔ ﺑﺎﻟﻌﺮﻭﺓ ﺍﻟﻮﺛﻘﻰ ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﺍﻧﻔﺼﺎﻡ
ﻟﻬﺎ، ﻭﺍﻟﻌﺮﺏ ﺗﻀﻤﺮ ‏(ﭐﻟَّﺘِﻰ ‏) ﻭ ‏( ﭐﻟَّﺬِﻯ ‏) ﻭ ‏( ﻣَﻦْ ‏) ﻭﺗﻜﺘﻔﻲ ﺑﺼﻼﺗﻬﺎ ﻣﻨﻬﺎ، ﻗﺎﻝ
ﺳﻼﻣﺔ ﺑﻦ ﺟﻨﺪﻝ :
ﻭﺍﻟﻌﺎﺩﻳﺎﺕ ﺃﺳﺎﻣﻲ ﻟﻠﺪﻣﺎﺀ ﺑﻬﺎ ﻛﺄﻥ ﺃﻋﻨﺎﻗﻬﺎ ﺃﻧﺼﺎﺏ ﺗﺮﺣﻴﺐ
ﻳﺮﻳﺪ ﺍﻟﻌﺎﺩﻳﺎﺕ ﺍﻟﺘﻲ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ :
{ﻭَﻣَﺎ ﻣِﻨَّﺎ ﺇِﻻَّ ﻟَﻪُ ﻣَﻘَﺎﻡٌ ﻣَّﻌْﻠُﻮﻡٌ }
‏] ﺍﻟﺼﺎﻓﺎﺕ : 164 ‏]

ﺃﻱ ﻣﻦ ﻟﻪ .
ﺛﻢ ﻗﺎﻝ : } ﻭَﭐﻟﻠَّﻪُ ﺳَﻤِﻴﻊٌ ﻋَﻠِﻴﻢٌ { ﻭﻓﻴﻪ ﻗﻮﻻﻥ :
ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻷﻭﻝ : ﺃﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﺴﻤﻊ ﻗﻮﻝ ﻣﻦ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﺑﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ، ﻭﻗﻮﻝ ﻣﻦ
ﻳﺘﻜﻠﻢ ﺑﺎﻟﻜﻔﺮ، ﻭﻳﻌﻠﻢ ﻣﺎ ﻓﻲ ﻗﻠﺐ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻣﻦ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ﺍﻟﻄﺎﻫﺮ، ﻭﻣﺎ ﻓﻲ
ﻗﻠﺐ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮ ﻣﻦ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ﺍﻟﺨﺒﻴﺚ .
ﻭﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﺭﻭﻯ ﻋﻄﺎﺀ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ : ﻛﺎﻥ
ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺤﺐ ﺇﺳﻼﻡ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻣﻦ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ
ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺣﻮﻝ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ، ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺴﺄﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﺳﺮﺍً ﻭﻋﻼﻧﻴﺔ،
ﻓﻤﻌﻨﻰ ﻗﻮﻟﻪ } ﻭَﭐﻟﻠَّﻪُ ﺳَﻤِﻴﻊٌ ﻋَﻠِﻴﻢٌ } ﻳﺮﻳﺪ ﻟﺪﻋﺎﺋﻚ ﻳﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﺤﺮﺻﻚ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺍﺟﺘﻬﺎﺩﻙ

Note:
Toleransi dan kebebasan beragama selalu disandarkan pada ayat la ikraha fi al-Din . Persisnya Allah berfirman (QS, al-
Baqarah [2] : 256),

“Tidak boleh ada paksaan dalam agama.
Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan.
Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang
kepada tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Mengetahui” (la ikraha fi al-din qad tabayyana
al-rusyd min al-ghayy fa man yakfur bi al-thaghut wa yu’min
billah fa qad istamsaka bi al-’urwah al-utsaqa la infishama laha. Wallahu sami’un ’alim ).

Abu Muslim dan al-Qaffal berpendapat, ayat ini hendak menegaskan bahwa keberimanan didasarkan atas suatu
pilihan sadar dan bukan atas suatu tekanan. Menurut Muhammad Nawawi al-Jawi dala bukunya, Marah Labidz
menegaskan bahwa ayat ini berarti pemaksaan untuk masuk
dalam suatu agama tak dibenarkan. Dari sudut gramatika bahasa Arab tampak bahwa kata “la” dalam ayat di atas
termasuk “la linafyi al-jins”, dengan demikian berarti menafikan seluruh jenis paksaan dalam soal agama. Ayat ini
juga dikemukakan dengan lafzh ’am (kata yang umum).

Dalalah lafzh ’am , menurut ushul fikih Hanafiyah, adalah
qath’i (jelas-tegas) sehingga tak mungkin ditakhshish(dibatasi pengertiannya) apalagi dinaskh (dibatalkan) dengan
dalil yang zhanni (tidak jelas maknanya).

Ayat ini merupakan teks fondasi atau dasar penyikapan Islam terhadap jaminan kebebasan beragama. Jawdat Sa’id dalam
bukunya yang berjudul La Ikraha fi al-Din menyebut la ikraha fî al-din , qad tabayyana al-rusyd min al-ghayy sebagai ayat
kabirah jiddan (ayat universal). Apalagi, menurut Jawdat Sa’id, ayat itu dinyatakan persis setelah ayat kursi yang
dianggap sebagai salah satu ayat paling utama.

Jika ayat kursi mengandung ajaran penyucian Allah, maka ayat tersebut
mengandung penghormatan kepada manusia, yang salah satunya adalah menjamin hak kebebasan beragama.
Dalam menafsirkan ayat ini, Jawdat Sa’id menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pemaksaan (al-ikrah ) adalah al-ghayy
dan ini adalah jalan salah ( al-thariq al-khathi’ ).

Sedang yang dimaksud dengan tanpa paksaan ( alla ikrah ) adalah al-rusyd dan ini adalah jalan benar ( al-thariq al-shahih ).

Pengertian ayat itu adalah “tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh sudah jelas (perbedaan) antara tanpa paksaan dan
pemaksaan”. Berbeda dengan kebanyakan para mufasir,
Jawdat Sa’id menafsir kata “thaghut” dalam lanjutan ayat itu sebagai orang yang memaksakan pemikiran dan keyakinannya
kepada orang lain, dan membunuh orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya.
Perihal ayat tersebut, Jawdat Sa’id mengemukakan pandangannya. Pertama , ayat itu memberi jaminan kepada
orang lain untuk tidak mendapatkan paksaan dari seseorang.

Ayat itu juga memberi jaminan agar seseorang tak dipaksa orang lain tentang sesuatu hal, termasuk dalam hal agama.
Kedua , ayat itu bisa dipahami sebagai kalimat perintah (kalam insya’i ) dan sebagai kalimat informatif ( kalam ikhbari ).

Sebagai kalimat perintah, ia menyuruh seseorang untuk tak melakukan pemaksaan kepada orang lain. Sebagai kalam
ikhbari , ayat itu memberitahukan bahwa seseorang yang dipaksa masuk pada suatu agama sementara hatinya menolak,
maka orang itu tak bisa dikatakan telah memeluk agama itu.

Ini karena agama ada di dalam kemantapan hati, bukan dalam ungkapan lisan. Ketiga, ayat ini melarang membunuh orang
pindah agama, karena ayat itu turun untuk melarang pemaksaan dalam soal agama.
Para ulama tafsir menyebutkan beberapa sebab yang,melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Al-Qurthubi dalam
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menjelaskan riwayat yang menceritakan sebab turunnya ayat ini. Pertama, Sulaiman ibn
Musa menyatakan, ayat ini dinasakh dengan ayat lain yang membolehkan umat Islam membunuh umat agama lain. Ia
menambahkan, Nabi Muhammad telah memaksa dan memerangi orang-orang non-Muslim yang tinggal di Arab
untuk memeluk Islam. Ibn Katsir mengutip pandangan sekelompok ulama yang menyatakan bahwa ayat tersebut
sudah dinasakh ayat perang ( ayat al-qital ).
Menurutnya, seluruh umat manusia wajib diseru masuk agama Islam.

Sekiranya mereka tidak mau masuk Islam dan tak mau membayar retribusi ( jizyah ), mereka wajib diperangi. Ibn Katsîr
dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azhim berkata, ayat tersebut merupakan perintah agar umat Islam tak memaksa orang lain
masuk Islam. Sementara Thabathaba’i dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an berpendapat, ayat itu tak mungkin dinaskh
tanpa menaskh alasan hukumnya (illah al-hukm). Illat hukum
itu tertera secara eksplisit dalam kalimat berikutnya yang menyatakan, antara al-rusyd (kebenaran) dan al-ghayy
(kesesatan) sudah jelas.

Kedua , ayat tersebut tak dinaskh. Tapi, ia turun secara khusus
kepada Ahli Kitab. Mereka tak bisa dipaksa masuk Islam selama masih membayar retribusi (jizyah ).

Pendapat ini dikemukakan al-Sya`bi, Qatadah, al-Hasan, dan al-Dhahhak.
Para ulama tersebut memperkuat argumennya dengan riwayat Zaid ibn Aslam dari bapaknya. Ia mendengar Umar ibn Khattab
berbincang dengan seorang perempuan tua beragama Kristen.
“Masuk Islamlah, wahai perempuan tua, niscaya engkau akan
selamat, karena Allah mengutus Muhammad SAW dengan
membawa kebenaran. Lalu perempuan itu berkata, saya sudah
tua renta dan sebentar lagi kematian akan menjemput. Umar
berkata, Wahai Allah, saya bersaksi atas perempuan ini. Umar
kemudian membaca ayat tadi.

Sementara pendapat lain menyatakan bahwa sebab turun ayat tersebut sebagai berikut. Pertama , diriwayatkan Abu Dawud,
al-Nasa’i, Ibn Hibban, Ibn Jarir dari Ibn Abbas. Alkisah, ada
seorang perempuan tidak punya anak. Ia berjanji pada dirinya
bahwa sekiranya ia mempunyai anak, maka anaknya akan dijadikan seorang Yahudi. Ia tak akan membiarkan anaknya
memeluk agama selain Yahudi. Dengan latar itu, ayat ini turun
sebagai bentuk penolakan terhadap adanya pemaksaan dalam agama.

Kedua , ayat itu turun terkait peristiwa seorang laki-laki Anshar, Abu Hushain. Dikisahkan, Abu Hushain adalah seorang Muslim yang memiliki dua anak Kristen. Ia mengadu
kepada Nabi, apakah dirinya boleh memaksa dua anaknya masuk Islam, sementara anaknya cenderung kepada Kristen.
Ia menegaskan kepada Nabi, apakah dirinya akan membiarkan mereka masuk neraka. Dengan kejadian tersebut, turun firman
Allah tadi yang melarang pemaksaan dalam urusan agama.

Dengan mengetahui sabab al-nuzûl tersebut, jelas bahwa pemaksaan dalam agama tak dibenarkan. Ibrahim al-Hafnawi
menegaskan bahwa kebebasan beragama merupakan prinsip
dasar ajaran Islam, sehingga tak ditemukan satu ayat pun dalam al-Qur’an atau sebuah hadits yang bertentangan
dengan prinsip dasar ajaran ini.

Beriman merupakan pilihan,
kesadaran dan ketundukan subyektif manusia atas ajaran- ajaran Allah.

Menjadi hak setiap orang untuk percaya bahwa agamanya benar. Namun, dalam waktu bersamaan, seseorang harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Sebab, persoalan keyakinan merupakan perkara pribadi (qadliyah
syahshiyyah ) dari setiap orang, sehingga tak boleh ada paksaan. Jamal al-Banna dalam Hurriyah al-Fikr wa al-I’tiqad
fi al-Islam menegaskan, Nabi hanya sekadar penyampai pesan.

Dia tak punya kewenangan untuk memaksa. Allah berfirman dalam al-Qur’an (al-Ghasyiyah [88]: 21-22) “maka
berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu adalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukan orang yang berkuasa
atas mereka”. Di ayat lain Allah berfirman (QS, Yunus [10]: 99),

”Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu akan beriman semua orang yang ada di bumi seluruhnya. Maka apakah kamu
hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang- orang beriman semuanya? Tak seorang pun akan beriman
kecuali dengan ijin Allah”.

Abdul Karim Soroush membuat sebuah ilustrasi. Bahwa
sebagaimana seseorang menghadapi kematian secara sendirian, maka ia pun memeluk agama secara individual.
Setiap umat beragama memang melakukan aksi dan ritus komunal, tetapi bukan keimanan komunal. Jika ekspresi iman
bersifat publik, maka esensi iman bersifat gaib dan privat. Bagi
Soroush, wilayah iman seperti arena akhirat yang di dalamnya setiap orang dinilai satu-satu. Disebutkan,

“Tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-
sendiri”. Allah berfirman dalam al-Qur’an (Maryam [19]: 95)
“wa kulluhum atihi yawm al-qiyamah farda”.

Tidak banyak manfaatnya memaksa seseorang memeluk suatu
agama, kalau tidak diikutii kepercayaan dan keyakinan dari orang tersebut. Agama yang dipaksakan, menurut Jawdat
Sa’id, sama dengan cinta yang dipaksakan. “Tidak ada agama
dengan paksaan, sebagaimana tidak ada cinta dengan paksaan”. Memeluk suatu agama sejatinya harus diikuti
dengan keyakinan yang mendalam terhadap ajaran yang ditetapkan agama itu. Bahkan, setiap orang punya hak memilih
antara beragama atau tidak beragama. Nabi pernah menawarisalah seorang budak perempuannya, Rayhanah binti Zaid,
untuk masuk Islam. Namun, Rayhanah lebih memilih Yahudi
sebagai agamanya. Nabi tak marah pada Rayhanah hingga akhirnya ia sendiri yang memutuskan masuk Islam. Ini sebuah
teladan. Sebagai majikan pun Nabi tak memaksa budaknya mengikuti agama yang dianutnya.

Tidak dibolehkannya melakukan pemaksaan dalam agama ini
bisa dimaklumi, karena Allah memposisikan manusia sebagai makhluk berakal. Dengan akalnya manusia bisa memilih agama yang terbaik buat dirinya. Allah berfirman (QS, al-Kahfi [18]: 29),

“Katakanlah: “kebenaran datang dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang beriman, silahkan, dan barangsiapa
yang ingin kafir, biarlah kafir. Ini berarti, manusia tak memiliki
kewenangan menilai dan mengintervensi keimanan seseorang.
Tuhan yang berhak menilai benar dan tidaknya keyakinan.

Itu pun dilakukan di akhirat kelak. Allah berfirman (QS, al-Sajdah [32]: 25)
“sesungguhnya Tuhanmu yang akan memberikan vonis terhadap perselisihan yang terjadi di antara mereka,
nanti pada hari kiamat. Karena keimanan berpangkal pada
keyakinan yang terpatri dalam hati, maka yang mengetahui hakekat keberimanan seseorang hanya Allah. Beriman adalah
tindakan soliter. Iman merupakan bagian dari komitmen pribadi.

Meminjam terminologi ushul fikih, persoalan beriman dan tidak
beriman merupakan haq Allah (hak Allah). Artinya, beriman dan tidak beriman merupakan urusan manusia secara
individual dengan Tuhannya, Allah. Pilihan iman atau kufr
merupakan tindakan privat-individual. Adalah hak setiap orang untuk kufr atau iman. Sebab, keimanan dan kekufuran tidak
dipertanggungjawabkan kepada manusia, melainkan kepada Allah.

Tanggung jawab berada di tangan yang bersangkutan dalam hubungannya dengan Allah. Seseorang tak akan
dimintai pertanggungan jawab atas dosa orang lain. Demikian pula sebaliknya. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an (Saba’ [34]: 25),

”katakanlah, kalian tak akan diminta
mempertanggungjawabkan dosa-dosa kami. Kami pun takakan mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatan
kalian”.