Kamis, 13 November 2014

Dakwah vs Menakut-nakuti

SUMBER: www.gusmus.net

Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri

Seorang kawan budayawan dari satu daerah di Jawa Tengah yang biasanya hanya SMS-an dengan saya, tiba-tiba siang itu
menelpon. Dengan nada khawatir, dia melaporkan kondisi kemasyarakatan dan keagamaan di kampungnya. Keluhnya
antara lain,“Kalau ada kekerasan di Jakarta oleh kelompok warga yang mengaku muslim terhadap saudara-saudaranya
sebangsa yang mereka anggap kurang menghargai Islam, mungkin itu politis masalahnya. Tapi ini di kampung, Gus,
sudah ada kelompok yang sikapnya seperti paling Islam sendiri. Mereka dengan semangat jihad, memaksakan
pahamnya ke masyarakat. Sasarannya jamaah-jamaah di masjid dan surau. Rakyat pada takut. Bahkan, na’udzu billah,
Gus, saking takutnya ada yang sampai keluar dari Islam. Ini bagaimana? Harus ada yang mengawani masyarakat, Gus.
NU dan Muhammadiyah kok diam saja ya?”

Kondisi yang dilaporkan kawan saya itu bukanlah satu- satunya laporan yang saya terima. Ya, akhir-akhir ini sikap
perilaku keberagamaan yang keras model zaman Jahiliyah semakin merebak. Hujjah-nya, tidak tanggung-tanggung
seperti membela Islam, menegakkan syariat, amar makruf nahi munkar, memurnikan agama, dsb.

Cirinya yang menonjol :
sikap merasa benar sendiri dan karenanya bila bicara suka menghina dan melecehkan mereka yang tidak sepaham. Suka
memaksa dan bertindak keras dan kasar kepada golongan lain yang mereka anggap sesat. Seandainya kita tidak melihat
mereka berpakaian Arab dan sering meneriakkan “Allahu Akbar!”, kita sulit mengatakan mereka itu orang-orang Islam.
Apalagi bila kita sudah mengenal pemimpin tertinggi dan panutan kaum muslimin, Nabi Muhmmad SAW.

Seperti kita ketahui, Nabi kita yang diutus Allah menyampaikan firman-Nya kepada hamba-hamba-Nya, adalah contoh
manusia paling manusia. Manusia yang mengerti manusia dan memanusiakan manusia. Rasulullah SAW seperti bisa dengan
mudah kita kenal melalui sirah dan sejarah kehidupannya, adalah pribadi yang sangat lembut, ramah dan menarik. Diam
dan bicaranya menyejukkan dan menyenangkan. Beliau tidak
pernah bertindak atau berbicara kasar.

ﺭﻭﻯ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ : ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﺒﺎﺑﺎ ﻭﻻ ﻟﻤﺎﻣﺎ ﻭﻻ ﻓﺎﺣﺸﺎ

Sahabat Anas r.a yang lama melayani Rasulullah SAW, seperti
diriwayatkan imam Bukhari, menuturkan bahwa Rasulullah SAW bukanlah pencaci, bukan orang yang suka mencela, dan
bukan orang yang kasar.

ﻭﺭﻭﻯ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ : ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺭﺳﻮﻝ
ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺎﺣﺸﺎ ﻭﻻ ﻣﺘﻔﺎﺣﺸﺎ ﻭﻻ ﺻﺨﺎﺑﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﺳﻮﺍﻕ

Sementara menurut riwayat Imam Turmudzi, dari sahabat Abu Hurairah r.a: Rasulullah SAW pribadinya tidak kasar, tidak keji,
dan tidak suka berteriak-teriak di pasar.
Ini sesuai dengan firman Allah sendiri kepada Rasulullah SAW di (Q. 3: 159),
“Fabima rahmatin minallaahi linta lahum walau kunta fazhzhan ghaliizhalqalbi lanfadhdhuu min haulika …” ,
Maka disebabkan rahmat dari Alllah, kamu lemah lembut kepada mereka. Seandainya kamu berperangai keras berhati
kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…”

Jadi, kita tidak bisa mengerti bila ada umat Nabi Muhammad SAW, berlaku kasar, keras dan kejam. Ataukah mereka tidak
mengenal pemimpin agung mereka yang begitu berbudi, lemah- lembut dan menyenangkan; atau mereka mempunyai
panutan lain dengan doktrin lain.
Atau mungkin sikap mereka yang demikian itu merupakan reaksi belaka dari kezaliman Amerika dan Yahudi/Israel. Kalau
memang ya, bukankah kitab suci kita al-Quran sudah mewanti-wanti, berpesan dengan sangat agar kita tidak
terseret oleh kebencian kita kepada suatu kaum untuk berlaku tidak adil.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak kebenaran karena Allah (bukan karena yang
lain-lain!), menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali- kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah; adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Baca Q. 5: 9).

Hampir semua orang Islam mengetahui bahwa Rasulullah SAW diutus utamanya untuk menyempurnakan Ahlak / budi pekerti. Karena
itu, Rasulullah SAW sendiri budi pekertinya sangat luhur (Qs. 68: 4).

Mencontohkan dan mengajarkan keluhuran budi. Sehingga semua orang tertarik . Ini sekaligus merupakan
pelaksanaan perintah Allah untuk berdakwah. Berdakwah adalah menarik orang bukan membuat orang lari. (Baca lagi Q. 3: 159!).

Bagaimana orang tertarik dengan agama yang dai- dainya sangar dan bertindak kasar tidak berbudi?
Melihat perilaku mereka yang bicara kasar dan tengik, bertindak brutal sewenang-wenang sambil membawa-bawa simbol-simbol Islam, saya kadang-kadang curiga, jangan-
jangan mereka ini antek-antek Yahudi yang ditugasi mencemarkan agama Islam dengan berkedok Islam. Kalau
tidak, bagaimana ada orang Islam, apalagi sudah dipanggil ustadz, begitu bodoh: tidak bisa membedakan antara dakwah
yang mengajak orang dengan menakut-nakuti yang membuat orang lari. Bagaimana mengajak orang mengikuti Rasulullah
SAW dengan sikap dan kelakuan yang berlawanan dengan sikap dan perilaku Rasulullah SAW?

Rabu, 12 November 2014

Tafsir La ikraha fi Diin .(QS, al- Baqarah [2] : 256),

Ayat Toleransi
Q.S. Al-Baqarah/2 ayat

ﻻ ﺇﻛﺮﺍﻩ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻗﺪ ﺗﺒﻴﻦ ﺍﻟﺮﺷﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﻲ ﻓﻤﻦ ﻳﻜﻔﺮ ﺑﺎﻟﻄﺎﻏﻮﺕ ﻭﻳﺆﻣﻦ
ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻓﻘﺪ ﺍﺳﺘﻤﺴﻚ ﺑﺎﻟﻌﺮﻭﺓ ﺍﻟﻮﺛﻘﻰ ﻻ ﺍﻧﻔﺼﺎﻡ ﻟﻬﺎ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺳﻤﻴﻊ ﻋﻠﻴﻢ

Artinya
tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada
thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak
akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Tafsir Imam al-Zamakhsyari (w. 538 H ‏)

ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﻜﺸﺎﻑ / ﺍﻟﺰﻣﺨﺸﺮﻱ ‏( ﺕ 538 ﻫـ ‏( ﻣﺼﻨﻒ ﻭ ﻣﺪﻗﻖ
} ﻻ ﺇِﻛْﺮَﺍﻩَ ﻓِﻰ ﭐﻟﺪّﻳﻦِ { ﺃﻱ ﻟﻢ ﻳﺠﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻣﺮ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﺟﺒﺎﺭ ﻭﺍﻟﻘﺴﺮ،
ﻭﻟﻜﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻤﻜﻴﻦ ﻭﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭ . ﻭﻧﺤﻮﻩ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :
{ ﻭَﻟَﻮْ ﺷَﺎﺀ ﺭَﺑُّﻚَ ﻵﻣَﻦَ ﻣَﻦ ﻓِﻰ ﭐﻻْﺭْﺽِ ﻛُﻠُّﻬُﻢْ ﺟَﻤِﻴﻌًﺎ ﺃَﻓَﺄَﻧﺖَ ﺗُﻜْﺮِﻩُ ﭐﻟﻨَّﺎﺱَ ﺣَﺘَّﻰٰ
ﻳَﻜُﻮﻧُﻮﺍْ ﻣُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ }
‏[ ﻳﻮﻧﺲ : 99]

ﺃﻱ ﻟﻮ ﺷﺎﺀ ﻟﻘﺴﺮﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻞ، ﻭﺑﻨﻰ ﺍﻷﻣﺮ
ﻋﻠﻰ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭ { ﻗَﺪ ﺗَّﺒَﻴَّﻦَ ﭐﻟﺮُّﺷْﺪُ ﻣِﻦَ ﭐﻟْﻐَﻲِّ { ﻗﺪ ﺗﻤﻴﺰ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮ
ﺑﺎﻟﺪﻻﺋﻞ ﺍﻟﻮﺍﺿﺤﺔ } ﻓَﻤَﻦْ ﻳَﻜْﻔُﺮْ ﺑِﭑﻟﻄَّـٰﻐُﻮﺕِ { ﻓﻤﻦ ﺍﺧﺘﺎﺭ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺑﺎﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﺃﻭ
ﺍﻷﺻﻨﺎﻡ ﻭﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﺎﻟﻠﻪ } ﻓَﻘَﺪِ ﭐﺳْﺘَﻤْﺴَﻚَ ﺑِﭑﻟْﻌُﺮْﻭَﺓِ ﭐﻟْﻮُﺛْﻘَﻰٰ { ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺒﻞ
ﺍﻟﻮﺛﻴﻖ ﺍﻟﻤﺤﻜﻢ، ﺍﻟﻤﺄﻣﻮﻥ ﺍﻧﻔﺼﺎﻣﻬﺎ، ﺃﻱ ﺍﻧﻘﻄﺎﻋﻬﺎ .ﻭﻫﺬﺍ ﺗﻤﺜﻴﻞ ﻟﻠﻤﻌﻠﻮﻡ
ﺑﺎﻟﻨﻈﺮ، ﻭﺍﻻﺳﺘﺪﻻﻝ ﺑﺎﻟﻤﺸﺎﻫﺪ ﺍﻟﻤﺤﺴﻮﺱ، ﺣﺘﻰ ﻳﺘﺼﻮّﺭﻩ ﺍﻟﺴﺎﻣﻊ ﻛﺄﻧﻪ
ﻳﻨﻈﺮ ﺇﻟﻴﻪ ﺑﻌﻴﻨﻪ، ﻓﻴﺤﻜﻢ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩﻩ ﻭﺍﻟﺘﻴﻘﻦ ﺑﻪ . ﻭﻗﻴﻞ : ﻫﻮ ﺇﺧﺒﺎﺭ ﻓﻲ ﻣﻌﻨﻰ
ﺍﻟﻨﻬﻲ، ﺃﻱ ﻻ ﺗﺘﻜﺮﻫﻮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ . ﺛﻢ ﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ : ﻫﻮ ﻣﻨﺴﻮﺥ ﺑﻘﻮﻟﻪ :
{ ﺟَـٰﻬِﺪِ ﭐﻟْﻜُﻔَّـٰﺮَ ﻭَﭐﻟْﻤُﻨَـٰﻔِﻘِﻴﻦَ ﻭَﭐﻏْﻠُﻆْ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ }
‏] ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ : 73 ‏]

ﻭﻗﻴﻞ : ﻫﻮ ﻓﻲ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺧﺎﺻﺔ ﻷﻧﻬﻢ ﺣﺼﻨﻮﺍ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﺑﺄﺩﺍﺀ ﺍﻟﺠﺰﻳﺔ
ﻭﺭﻭﻱ .
(148) ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﻣﻦ ﺑﻨﻲ ﺳﺎﻟﻢ ﺑﻦ ﻋﻮﻑ ﺍﺑﻨﺎﻥ ﻓﺘﻨﺼﺮﺍ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ
ﻳﺒﻌﺚ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﺛﻢ ﻗﺪﻣﺎ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻓﻠﺰﻣﻬﻤﺎ ﺃﺑﻮﻫﻤﺎ
ﻭﻗﺎﻝ : ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﺃﺩﻋﻜﻤﺎ ﺣﺘﻰ ﺗﺴﻠﻤﺎ، ﻓﺄﺑﻴﺎ ﻓﺎﺧﺘﺼﻤﻮﺍ ﺇﻟﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ : ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻳﺪﺧﻞ ﺑﻌﻀﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻭﺃﻧﺎ
ﺃﻧﻈﺮ؟ ﻓﻨﺰﻟﺖ : ﻓﺨﻼﻫﻤﺎ

Tafsir Mafatih al-Ghaib Imam al-Razi (w.606H‏)

ﺗﻔﺴﻴﺮ ﻣﻔﺎﺗﻴﺢ ﺍﻟﻐﻴﺐ ، ﺍﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ / ﺍﻟﺮﺍﺯﻱ ‏( ﺕ 606 ﻫـ ‏( ﻣﺼﻨﻒ ﻭ
ﻣﺪﻗﻖ
ﻓﻴﻪ ﻣﺴﺄﻟﺘﺎﻥ :
ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺍﻷﻭﻟﻰ : ﺍﻟﻼﻡ ﻓﻲ } ﭐﻟﺪّﻳﻦِ { ﻓﻴﻪ ﻗﻮﻻﻥ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﺃﻧﻪ ﻻﻡ ﺍﻟﻌﻬﺪ
ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﺃﻧﻪ ﺑﺪﻝ ﻣﻦ ﺍﻹﺿﺎﻓﺔ، ﻛﻘﻮﻟﻪ
{ ﻓَﺈِﻥَّ ﭐﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﻫِﻰَ ﭐﻟْﻤَﺄْﻭَﻯٰ }
‏]ﺍﻟﻨﺎﺯﻋﺎﺕ : 41 ‏]

ﺃﻱ ﻣﺄﻭﺍﻩ، ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻓﻲ ﺩﻳﻦ ﺍﻟﻠﻪ .
ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ : ﻓﻲ ﺗﺄﻭﻳﻞ ﺍﻵﻳﺔ ﻭﺟﻮﻩ ﺃﺣﺪﻫﺎ : ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺃﺑﻲ ﻣﺴﻠﻢ
ﻭﺍﻟﻘﻔﺎﻝ ﻭﻫﻮ ﺍﻷﻟﻴﻖ ﺑﺄﺻﻮﻝ ﺍﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ : ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﺎ ﺑﻨﻰ ﺃﻣﺮ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ
ﻋﻠﻰ ﺍﻹﺟﺒﺎﺭ ﻭﺍﻟﻘﺴﺮ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺑﻨﺎﻩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻤﻜﻦ ﻭﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭ، ﺛﻢ ﺍﺣﺘﺞ ﺍﻟﻘﻔﺎﻝ
ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﺄﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻤﺎ ﺑﻴّﻦ ﺩﻻﺋﻞ ﺍﻟﺘﻮﺣﻴﺪ ﺑﻴﺎﻧﺎً ﺷﺎﻓﻴﺎً
ﻗﺎﻃﻌﺎً ﻟﻠﻌﺬﺭ، ﻗﺎﻝ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ : ﺇﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﺒﻖ ﺑﻌﺪ ﺇﻳﻀﺎﺡ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺪﻻﺋﻞ ﻟﻠﻜﺎﻓﺮ
ﻋﺬﺭ ﻓﻲ ﺍﻹﻗﺎﻣﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻘﺴﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻭﻳﺠﺒﺮ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﺫﻟﻚ
ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻓﻲ ﺩﺍﺭ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺍﻟﺘﻲ ﻫﻲ ﺩﺍﺭ ﺍﻻﺑﺘﻼﺀ، ﺇﺫ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻬﺮ ﻭﺍﻹﻛﺮﺍﻩ
ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻄﻼﻥ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻻﺑﺘﻼﺀ ﻭﺍﻻﻣﺘﺤﺎﻥ، ﻭﻧﻈﻴﺮ ﻫﺬﺍ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :
{ ﻓَﻤَﻦ ﺷَﺎﺀ ﻓَﻠْﻴُﺆْﻣِﻦ ﻭَﻣَﻦ ﺷَﺎﺀ ﻓَﻠْﻴَﻜْﻔُﺮْ }
‏] ﺍﻟﻜﻬﻒ : 29 ‏]

ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺳﻮﺭﺓ ﺃﺧﺮﻯ
{ ﻭَﻟَﻮْ ﺷَﺎﺀ ﺭَﺑُّﻚَ ﻵﻣَﻦَ ﻣَﻦ ﻓِﻰ ﭐﻷَﺭْﺽِ ﻛُﻠُّﻬُﻢْ ﺟَﻤِﻴﻌًﺎ ﺃَﻓَﺄَﻧﺖَ ﺗُﻜْﺮِﻩُ ﭐﻟﻨَّﺎﺱَ ﺣَﺘَّﻰٰ
ﻳَﻜُﻮﻧُﻮﺍْ ﻣُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ }
‏] ﺍﻟﺸﻌﺮﺍﺀ : 3 ‏[ 4 ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺸﻌﺮﺍﺀ } ﻟَﻌَﻠَّﻚَ ﺑَـٰﺨِﻊٌ ﻧَّﻔْﺴَﻚَ ﺃَﻻَّ ﻳَﻜُﻮﻧُﻮﺍْ
ﻣُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﺇِﻥ ﻧَّﺸَﺄْ ﻧُﻨَﺰّﻝْ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻣّﻦَ ﭐﻟﺴَّﻤَﺎﺀ ﺀَﺍﻳَﺔً ﻓَﻈَﻠَّﺖْ ﺃَﻋْﻨَـٰﻘُﻬُﻢْ ﻟَﻬَﺎ
ﺧَـٰﻀِﻌِﻴﻦَ { ﻭﻣﻤﺎ ﻳﺆﻛﺪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺃﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻗﺎﻝ ﺑﻌﺪ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ } ﻗَﺪ ﺗَّﺒَﻴَّﻦَ
ﭐﻟﺮُّﺷْﺪُ ﻣِﻦَ ﭐﻟْﻐَﻲّ } ﻳﻌﻨﻲ ﻇﻬﺮﺕ ﺍﻟﺪﻻﺋﻞ، ﻭﻭﺿﺤﺖ ﺍﻟﺒﻴﻨﺎﺕ، ﻭﻟﻢ ﻳﺒﻖ ﺑﻌﺪﻫﺎ
ﺇﻻ ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻟﻘﺴﺮ ﻭﺍﻹﻟﺠﺎﺀ ﻭﺍﻹﻛﺮﺍﻩ، ﻭﺫﻟﻚ ﻏﻴﺮ ﺟﺎﺋﺰ ﻷﻧﻪ ﻳﻨﺎﻓﻲ ﺍﻟﺘﻜﻠﻴﻒ
ﻓﻬﺬﺍ ﺗﻘﺮﻳﺮ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻞ .
ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻞ ﻫﻮ ﺃﻥ ﺍﻹﻛﺮﺍﻩ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﻟﻠﻜﺎﻓﺮ : ﺇﻥ
ﺁﻣﻨﺖ ﻭﺇﻻ ﻗﺘﻠﺘﻚ ﻓﻘﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ : } ﻻ ﺇِﻛْﺮَﺍﻩَ ﻓِﻰ ﭐﻟﺪّﻳﻦِ { ﺃﻣﺎ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺃﻫﻞ
ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﻤﺠﻮﺱ، ﻓﻸﻧﻬﻢ ﺇﺫﺍ ﻗﺒﻠﻮﺍ ﺍﻟﺠﺰﻳﺔ ﺳﻘﻂ ﺍﻟﻘﺘﻞ ﻋﻨﻬﻢ،
ﻭﺃﻣﺎ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﻓﺈﺫﺍ ﺗﻬﻮﺩﻭﺍ ﺃﻭ ﺗﻨﺼﺮﻭﺍ ﻓﻘﺪ ﺍﺧﺘﻠﻒ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻓﻴﻬﻢ، ﻓﻘﺎﻝ
ﺑﻌﻀﻬﻢ : ﺇﻧﻪ ﻳﻘﺮ ﻋﻠﻴﻪ؛ ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺘﻘﺪﻳﺮ ﻳﺴﻘﻂ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﻘﺘﻞ ﺇﺫﺍ ﻗﺒﻞ
ﺍﻟﺠﺰﻳﺔ، ﻭﻋﻠﻰ ﻣﺬﻫﺐ ﻫﺆﻻﺀ ﻛﺎﻥ ﻗﻮﻟﻪ } ﻻ ﺇِﻛْﺮَﺍﻩَ ﻓِﻰ ﭐﻟﺪّﻳﻦِ { ﻋﺎﻣﺎً ﻓﻲ ﻛﻞ
ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ، ﺃﻣﺎ ﻣﻦ ﻳﻘﻮﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﺑﺄﻥ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﺇﺫﺍ ﺗﻬﻮﺩﻭﺍ ﺃﻭ ﺗﻨﺼﺮﻭﺍ
ﻓﺈﻧﻬﻢ ﻻ ﻳﻘﺮﻭﻥ ﻋﻠﻴﻪ، ﻓﻌﻠﻰ ﻗﻮﻟﻪ ﻳﺼﺢ ﺍﻹﻛﺮﺍﻩ ﻓﻲ ﺣﻘﻬﻢ، ﻭﻛﺎﻥ ﻗﻮﻟﻪ } ﻻ
ﺇِﻛْﺮَﺍﻩَ { ﻣﺨﺼﻮﺻﺎً ﺑﺄﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ .
ﻭﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ : ﻻ ﺗﻘﻮﻟﻮﺍ ﻟﻤﻦ ﺩﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺤﺮﺏ ﺇﻧﻪ ﺩﺧﻞ ﻣﻜﺮﻫﺎً،
ﻷﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﺭﺿﻲ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺤﺮﺏ ﻭﺻﺢ ﺇﺳﻼﻣﻪ ﻓﻠﻴﺲ ﺑﻤﻜﺮﻩ، ﻭﻣﻌﻨﺎﻩ ﻻ
ﺗﻨﺴﺒﻮﻫﻢ ﺇﻟﻰ ﺍﻹﻛﺮﺍﻩ، ﻭﻧﻈﻴﺮﻩ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :
{ ﻭَﻻَ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍْ ﻟِﻤَﻦْ ﺃَﻟْﻘَﻰ ﺇِﻟَﻴْﻜُﻢُ ﭐﻟﺴَّﻠَـٰﻢَ ﻟَﺴْﺖَ ﻣُﺆْﻣِﻨﺎً }
‏] ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : 94 [.

ﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : } ﻗَﺪ ﺗَّﺒَﻴَّﻦَ ﭐﻟﺮُّﺷْﺪُ ﻣِﻦَ ﭐﻟْﻐَﻲّ { ﻓﻔﻴﻪ ﻣﺴﺄﻟﺘﺎﻥ :
ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺍﻷﻭﻟﻰ : ﻳﻘﺎﻝ : ﺑﺎﻥ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻭﺍﺳﺘﺒﺎﻥ ﻭﺗﺒﻴﻦ ﺇﺫﺍ ﻇﻬﺮ ﻭﻭﺿﺢ، ﻭﻣﻨﻪ
ﺍﻟﻤﺜﻞ : ﻗﺪ ﺗﺒﻴﻦ ﺍﻟﺼﺒﺢ ﻟﺬﻱ ﻋﻴﻨﻴﻦ، ﻭﻋﻨﺪﻱ ﺃﻥ ﺍﻹﻳﻀﺎﺡ ﻭﺍﻟﺘﻌﺮﻳﻒ ﺇﻧﻤﺎ
ﺳﻤﻲ ﺑﻴﺎﻧﺎً ﻷﻧﻪ ﻳﻮﻗﻊ ﺍﻟﻔﺼﻞ ﻭﺍﻟﺒﻴﻨﻮﻧﺔ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻭﻏﻴﺮﻩ، ﻭﺍﻟﺮﺷﺪ ﻓﻲ
ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺇﺻﺎﺑﺔ ﺍﻟﺨﻴﺮ، ﻭﻓﻴﻪ ﻟﻐﺘﺎﻥ : ﺭﺷﺪ ﻭﺭﺷﺪ ﻭﺍﻟﺮﺷﺎﺩ ﻣﺼﺪﺭ ﺃﻳﻀﺎً
ﻛﺎﻟﺮﺷﺪ، ﻭﺍﻟﻐﻲ ﻧﻘﻴﺾ ﺍﻟﺮﺷﺪ، ﻳﻘﺎﻝ ﻏﻮﻯ ﻳﻐﻮﻱ ﻏﻴﺎً ﻭﻏﻮﺍﻳﺔ، ﺇﺫﺍ ﺳﻠﻚ ﻏﻴﺮ
ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻟﺮﺷﺪ .
ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ : { ﺗَّﺒَﻴَّﻦَ ﭐﻟﺮُّﺷْﺪُ ﻣِﻦَ ﭐﻟْﻐَﻲّ { ﺃﻱ ﺗﻤﻴﺰ ﺍﻟﺤﻖ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ،
ﻭﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻭﺍﻟﻬﺪﻯ ﻣﻦ ﺍﻟﻀﻼﻟﺔ ﺑﻜﺜﺮﺓ ﺍﻟﺤﺠﺞ ﻭﺍﻵﻳﺎﺕ ﺍﻟﺪﺍﻟﺔ، ﻗﺎﻝ
ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ : ﻭﻣﻌﻨﻰ { ﻗَﺪ ﺗَّﺒَﻴَّﻦَ ﭐﻟﺮُّﺷْﺪُ { ﺃﻱ ﺃﻧﻪ ﻗﺪ ﺍﺗﻀﺢ ﻭﺍﻧﺠﻠﻰ ﺑﺎﻷﺩﻟﺔ ﻻ
ﺃﻥ ﻛﻞ ﻣﻜﻠﻒ ﺗﻨﺒﻪ ﻷﻥ ﺍﻟﻤﻌﻠﻮﻡ ﺫﻟﻚ ﻭﺃﻗﻮﻝ : ﻗﺪ ﺫﻛﺮﻧﺎ ﺃﻥ ﻣﻌﻨﻰ } ﺗَّﺒَﻴَّﻦَ {
ﺍﻧﻔﺼﻞ ﻭﺍﻣﺘﺎﺯ، ﻓﻜﺎﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺃﻧﻪ ﺣﺼﻠﺖ ﺍﻟﺒﻴﻨﻮﻧﺔ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺮﺷﺪ ﻭﺍﻟﻐﻲ ﺑﺴﺒﺐ
ﻗﻮﺓ ﺍﻟﺪﻻﺋﻞ ﻭﺗﺄﻛﻴﺪ ﺍﻟﺒﺮﺍﻫﻴﻦ، ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻣُﺠْﺮَﻯ ﻋﻠﻰ ﻇﺎﻫﺮﻩ .
ﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : } ﻓَﻤَﻦْ ﻳَﻜْﻔُﺮْ ﺑِﭑﻟﻄَّـٰﻐُﻮﺕِ { ﻓﻘﺪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺤﻮﻳﻮﻥ : ﺍﻟﻄﺎﻏﻮﺕ
ﻭﺯﻧﻪ ﻓﻌﻠﻮﺕ، ﻧﺤﻮ ﺟﺒﺮﻭﺕ، ﻭﺍﻟﺘﺎﺀ ﺯﺍﺋﺪﺓ ﻭﻫﻲ ﻣﺸﺘﻘﺔ ﻣﻦ ﻃﻐﺎ، ﻭﺗﻘﺪﻳﺮﻩ
ﻃﻐﻮﻭﺕ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻻﻡ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻗﻠﺒﺖ ﺇﻟﻰ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﻌﻴﻦ ﻛﻌﺎﺩﺗﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻠﺐ،
ﻧﺤﻮ : ﺍﻟﺼﺎﻗﻌﺔ ﻭﺍﻟﺼﺎﻋﻘﺔ، ﺛﻢ ﻗﻠﺒﺖ ﺍﻟﻮﺍﻭ ﺃﻟﻔﺎً ﻟﻮﻗﻮﻋﻬﺎ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﺣﺮﻛﺔ
ﻭﺍﻧﻔﺘﺎﺡ ﻣﺎ ﻗﺒﻠﻬﺎ، ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﺒﺮﺩ ﻓﻲ ﺍﻟﻄﺎﻏﻮﺕ : ﺍﻷﺻﻮﺏ ﻋﻨﺪﻱ ﺃﻧﻪ ﺟﻤﻊ ﻗﺎﻝ
ﺃﺑﻮ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﻔﺎﺭﺳﻲ : ﻭﻟﻴﺲ ﺍﻷﻣﺮ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻛﺬﻟﻚ، ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﺍﻟﻄﺎﻏﻮﺕ ﻣﺼﺪﺭ
ﻛﺎﻟﺮﻏﺒﻮﺕ ﻭﺍﻟﺮﻫﺒﻮﺕ ﻭﺍﻟﻤﻠﻜﻮﺕ، ﻓﻜﻤﺎ ﺃﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺳﻤﺎﺀ ﺁﺣﺎﺩ ﻛﺬﻟﻚ ﻫﺬﺍ
ﺍﻻﺳﻢ ﻣﻔﺮﺩ ﻭﻟﻴﺲ ﺑﺠﻤﻊ، ﻭﻣﻤﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻣﺼﺪﺭ ﻣﻔﺮﺩ ﻗﻮﻟﻪ } ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺅُﻫُﻢُ
ﭐﻟﻄَّـٰﻐُﻮﺕُ { ﻓﺄﻓﺮﺩ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﺠﻤﻊ، ﻛﻤﺎ ﻳﻘﺎﻝ : ﻫﻢ ﺭﺿﺎﻫﻢ ﻋﺪﻝ، ﻗﺎﻟﻮﺍ :
ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻳﻘﻊ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺠﻤﻊ، ﺃﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﻓﻜﻤﺎ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ
ﺗﻌﺎﻟﻰ :
{ ﻳُﺮِﻳﺪُﻭﻥَ ﺃَﻥ ﻳَﺘَﺤَﺎﻛَﻤُﻮﺍْ ﺇِﻟَﻰ ﭐﻟﻄَّـٰﻐُﻮﺕِ ﻭَﻗَﺪْ ﺃُﻣِﺮُﻭﺍْ ﺃَﻥ ﻳَﻜْﻔُﺮُﻭﺍْ ﺑِﻪِ }
‏[ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : 60 ‏]

ﻭﺃﻣﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﻤﻊ ﻓﻜﻤﺎ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :
} ﻭَﭐﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍْ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺅُﻫُﻢُ ﭐﻟﻄَّـٰﻐُﻮﺕُ }
‏[ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ 257 : ‏]

ﻭﻗﺎﻟﻮﺍ : ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺘﺬﻛﻴﺮ، ﻓﺄﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ :
{ ﻭَﭐﻟَّﺬِﻳﻦَ ﭐﺟْﺘَﻨَﺒُﻮﺍْ ﭐﻟﻄَّـٰﻐُﻮﺕَ ﺃَﻥ ﻳَﻌْﺒُﺪُﻭﻫَﺎ {
‏] ﺍﻟﺰﻣﺮ : 17 ‏] ﻓﺈﻧﻤﺎ ﺃﻧﺜﺖ ﺇﺭﺍﺩﺓ ﺍﻵﻟﻬﺔ .
ﺇﺫﺍ ﻋﺮﻓﺖ ﻫﺬﺍ ﻓﻨﻘﻮﻝ : ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻤﻔﺴﺮﻭﻥ ﻓﻴﻪ ﺧﻤﺴﺔ ﺃﻗﻮﺍﻝ ﺍﻷﻭﻝ : ﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ
ﻭﻣﺠﺎﻫﺪ ﻭﻗﺘﺎﺩﺓ ﻫﻮ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﻗﺎﻝ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺟﺒﻴﺮ : ﺍﻟﻜﺎﻫﻦ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ :
ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻌﺎﻟﻴﺔ : ﻫﻮ ﺍﻟﺴﺎﺣﺮ ﺍﻟﺮﺍﺑﻊ : ﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺍﻷﺻﻨﺎﻡ ﺍﻟﺨﺎﻣﺲ : ﺃﻧﻪ
ﻣﺮﺩﺓ ﺍﻟﺠﻦ ﻭﺍﻹﻧﺲ ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﻄﻐﻰ، ﻭﺍﻟﺘﺤﻘﻴﻖ ﺃﻧﻪ ﻟﻤﺎ ﺣﺼﻞ ﺍﻟﻄﻐﻴﺎﻥ ﻋﻨﺪ
ﺍﻻﺗﺼﺎﻝ ﺑﻬﺬﻩ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺟﻌﻠﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺃﺳﺒﺎﺑﺎً ﻟﻠﻄﻐﻴﺎﻥ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ
{ ﺭَﺏّ ﺇِﻧَّﻬُﻦَّ ﺃَﺿْﻠَﻠْﻦَ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻣّﻦَ ﭐﻟﻨَّﺎﺱ }
‏] ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ : 36 [.

ﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ } ﻭَﻳُﺆْﻣِﻦ ﺑِﭑﻟﻠَّﻪِ { ﻓﻔﻴﻪ ﺇﺷﺎﺭﺓ ﺇﻟﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺑﺪ ﻟﻠﻜﺎﻓﺮ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻳﺘﻮﺏ
ﺃﻭﻻً ﻋﻦ ﺍﻟﻜﻔﺮ، ﺛﻢ ﻳﺆﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ .
ﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ } ﻓَﻘَﺪِ ﭐﺳْﺘَﻤْﺴَﻚَ ﺑِﭑﻟْﻌُﺮْﻭَﺓِ ﭐﻟْﻮُﺛْﻘَﻰٰ { ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻳﻘﺎﻝ : ﺍﺳﺘﻤﺴﻚ
ﺑﺎﻟﺸﻲﺀ ﺇﺫﺍ ﺗﻤﺴﻚ ﺑﻪ ﻭﺍﻟﻌﺮﻭﺓ ﺟﻤﻌﻬﺎ ﻋﺮﺍ ﻧﺤﻮ ﻋﺮﻭﺓ ﺍﻟﺪﻟﻮ ﻭﺍﻟﻜﻮﺯ ﻭﺇﻧﻤﺎ
ﺳﻤﻴﺖ ﺑﺬﻟﻚ، ﻷﻥ ﺍﻟﻌﺮﻭﺓ ﻋﺒﺎﺭﺓ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﻪ ﻭﺍﻟﻮﺛﻘﻰ
ﺗﺄﻧﻴﺚ ﺍﻷﻭﺛﻖ، ﻭﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺑﺎﺏ ﺍﺳﺘﻌﺎﺭﺓ ﺍﻟﻤﺤﺴﻮﺱ ﻟﻠﻤﻌﻘﻮﻝ، ﻷﻥ ﻣﻦ ﺃﺭﺍﺩ
ﺇﻣﺴﺎﻙ ﺷﻲﺀ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﻌﺮﻭﺗﻪ، ﻓﻜﺬﺍ ﻫٰﻬﻨﺎ ﻣﻦ ﺃﺭﺍﺩ ﺇﻣﺴﺎﻙ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺗﻌﻠﻖ
ﺑﺎﻟﺪﻻﺋﻞ ﺍﻟﺪﺍﻟﺔ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﻟﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺩﻻﺋﻞ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺃﻗﻮﻯ ﺍﻟﺪﻻﺋﻞ ﻭﺃﻭﺿﺤﻬﺎ، ﻻ
ﺟﺮﻡ ﻭﺻﻔﻬﺎ ﺑﺄﻧﻬﺎ ﺍﻟﻌﺮﻭﺓ ﺍﻟﻮﺛﻘﻰ .
ﺃﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ } ﻻَ ﭐﻧﻔِﺼَﺎﻡَ ﻟَﻬَﺎ { ﻓﻔﻴﻪ ﻣﺴﺎﺋﻞ :
ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺍﻷﻭﻟﻰ : ﺍﻟﻔﺼﻢ ﻛﺴﺮ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺇﺑﺎﻧﺔ، ﻭﺍﻻﻧﻔﺼﺎﻡ ﻣﻄﺎﻭﻉ
ﺍﻟﻔﺼﻢ ﻓﺼﻤﺘﻪ ﻓﺎﻧﻔﺼﻢ ﻭﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﺍﻟﻤﺒﺎﻟﻐﺔ، ﻷﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ
ﻟﻬﺎ ﺍﻧﻔﺼﺎﻡ، ﻓﺈﻥ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻬﺎ ﺍﻧﻘﻄﺎﻉ ﺃﻭﻟﻰ .
ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ : ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺤﻮﻳﻮﻥ : ﻧﻈﻢ ﺍﻵﻳﺔ ﺑﺎﻟﻌﺮﻭﺓ ﺍﻟﻮﺛﻘﻰ ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﺍﻧﻔﺼﺎﻡ
ﻟﻬﺎ، ﻭﺍﻟﻌﺮﺏ ﺗﻀﻤﺮ ‏(ﭐﻟَّﺘِﻰ ‏) ﻭ ‏( ﭐﻟَّﺬِﻯ ‏) ﻭ ‏( ﻣَﻦْ ‏) ﻭﺗﻜﺘﻔﻲ ﺑﺼﻼﺗﻬﺎ ﻣﻨﻬﺎ، ﻗﺎﻝ
ﺳﻼﻣﺔ ﺑﻦ ﺟﻨﺪﻝ :
ﻭﺍﻟﻌﺎﺩﻳﺎﺕ ﺃﺳﺎﻣﻲ ﻟﻠﺪﻣﺎﺀ ﺑﻬﺎ ﻛﺄﻥ ﺃﻋﻨﺎﻗﻬﺎ ﺃﻧﺼﺎﺏ ﺗﺮﺣﻴﺐ
ﻳﺮﻳﺪ ﺍﻟﻌﺎﺩﻳﺎﺕ ﺍﻟﺘﻲ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ :
{ﻭَﻣَﺎ ﻣِﻨَّﺎ ﺇِﻻَّ ﻟَﻪُ ﻣَﻘَﺎﻡٌ ﻣَّﻌْﻠُﻮﻡٌ }
‏] ﺍﻟﺼﺎﻓﺎﺕ : 164 ‏]

ﺃﻱ ﻣﻦ ﻟﻪ .
ﺛﻢ ﻗﺎﻝ : } ﻭَﭐﻟﻠَّﻪُ ﺳَﻤِﻴﻊٌ ﻋَﻠِﻴﻢٌ { ﻭﻓﻴﻪ ﻗﻮﻻﻥ :
ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻷﻭﻝ : ﺃﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﺴﻤﻊ ﻗﻮﻝ ﻣﻦ ﻳﺘﻜﻠﻢ ﺑﺎﻟﺸﻬﺎﺩﺗﻴﻦ، ﻭﻗﻮﻝ ﻣﻦ
ﻳﺘﻜﻠﻢ ﺑﺎﻟﻜﻔﺮ، ﻭﻳﻌﻠﻢ ﻣﺎ ﻓﻲ ﻗﻠﺐ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻣﻦ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ﺍﻟﻄﺎﻫﺮ، ﻭﻣﺎ ﻓﻲ
ﻗﻠﺐ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮ ﻣﻦ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ﺍﻟﺨﺒﻴﺚ .
ﻭﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﺭﻭﻯ ﻋﻄﺎﺀ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ : ﻛﺎﻥ
ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺤﺐ ﺇﺳﻼﻡ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻣﻦ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ
ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺣﻮﻝ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ، ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺴﺄﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﺳﺮﺍً ﻭﻋﻼﻧﻴﺔ،
ﻓﻤﻌﻨﻰ ﻗﻮﻟﻪ } ﻭَﭐﻟﻠَّﻪُ ﺳَﻤِﻴﻊٌ ﻋَﻠِﻴﻢٌ } ﻳﺮﻳﺪ ﻟﺪﻋﺎﺋﻚ ﻳﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﺤﺮﺻﻚ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺍﺟﺘﻬﺎﺩﻙ

Note:
Toleransi dan kebebasan beragama selalu disandarkan pada ayat la ikraha fi al-Din . Persisnya Allah berfirman (QS, al-
Baqarah [2] : 256),

“Tidak boleh ada paksaan dalam agama.
Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan.
Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang
kepada tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Mengetahui” (la ikraha fi al-din qad tabayyana
al-rusyd min al-ghayy fa man yakfur bi al-thaghut wa yu’min
billah fa qad istamsaka bi al-’urwah al-utsaqa la infishama laha. Wallahu sami’un ’alim ).

Abu Muslim dan al-Qaffal berpendapat, ayat ini hendak menegaskan bahwa keberimanan didasarkan atas suatu
pilihan sadar dan bukan atas suatu tekanan. Menurut Muhammad Nawawi al-Jawi dala bukunya, Marah Labidz
menegaskan bahwa ayat ini berarti pemaksaan untuk masuk
dalam suatu agama tak dibenarkan. Dari sudut gramatika bahasa Arab tampak bahwa kata “la” dalam ayat di atas
termasuk “la linafyi al-jins”, dengan demikian berarti menafikan seluruh jenis paksaan dalam soal agama. Ayat ini
juga dikemukakan dengan lafzh ’am (kata yang umum).

Dalalah lafzh ’am , menurut ushul fikih Hanafiyah, adalah
qath’i (jelas-tegas) sehingga tak mungkin ditakhshish(dibatasi pengertiannya) apalagi dinaskh (dibatalkan) dengan
dalil yang zhanni (tidak jelas maknanya).

Ayat ini merupakan teks fondasi atau dasar penyikapan Islam terhadap jaminan kebebasan beragama. Jawdat Sa’id dalam
bukunya yang berjudul La Ikraha fi al-Din menyebut la ikraha fî al-din , qad tabayyana al-rusyd min al-ghayy sebagai ayat
kabirah jiddan (ayat universal). Apalagi, menurut Jawdat Sa’id, ayat itu dinyatakan persis setelah ayat kursi yang
dianggap sebagai salah satu ayat paling utama.

Jika ayat kursi mengandung ajaran penyucian Allah, maka ayat tersebut
mengandung penghormatan kepada manusia, yang salah satunya adalah menjamin hak kebebasan beragama.
Dalam menafsirkan ayat ini, Jawdat Sa’id menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pemaksaan (al-ikrah ) adalah al-ghayy
dan ini adalah jalan salah ( al-thariq al-khathi’ ).

Sedang yang dimaksud dengan tanpa paksaan ( alla ikrah ) adalah al-rusyd dan ini adalah jalan benar ( al-thariq al-shahih ).

Pengertian ayat itu adalah “tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh sudah jelas (perbedaan) antara tanpa paksaan dan
pemaksaan”. Berbeda dengan kebanyakan para mufasir,
Jawdat Sa’id menafsir kata “thaghut” dalam lanjutan ayat itu sebagai orang yang memaksakan pemikiran dan keyakinannya
kepada orang lain, dan membunuh orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya.
Perihal ayat tersebut, Jawdat Sa’id mengemukakan pandangannya. Pertama , ayat itu memberi jaminan kepada
orang lain untuk tidak mendapatkan paksaan dari seseorang.

Ayat itu juga memberi jaminan agar seseorang tak dipaksa orang lain tentang sesuatu hal, termasuk dalam hal agama.
Kedua , ayat itu bisa dipahami sebagai kalimat perintah (kalam insya’i ) dan sebagai kalimat informatif ( kalam ikhbari ).

Sebagai kalimat perintah, ia menyuruh seseorang untuk tak melakukan pemaksaan kepada orang lain. Sebagai kalam
ikhbari , ayat itu memberitahukan bahwa seseorang yang dipaksa masuk pada suatu agama sementara hatinya menolak,
maka orang itu tak bisa dikatakan telah memeluk agama itu.

Ini karena agama ada di dalam kemantapan hati, bukan dalam ungkapan lisan. Ketiga, ayat ini melarang membunuh orang
pindah agama, karena ayat itu turun untuk melarang pemaksaan dalam soal agama.
Para ulama tafsir menyebutkan beberapa sebab yang,melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Al-Qurthubi dalam
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menjelaskan riwayat yang menceritakan sebab turunnya ayat ini. Pertama, Sulaiman ibn
Musa menyatakan, ayat ini dinasakh dengan ayat lain yang membolehkan umat Islam membunuh umat agama lain. Ia
menambahkan, Nabi Muhammad telah memaksa dan memerangi orang-orang non-Muslim yang tinggal di Arab
untuk memeluk Islam. Ibn Katsir mengutip pandangan sekelompok ulama yang menyatakan bahwa ayat tersebut
sudah dinasakh ayat perang ( ayat al-qital ).
Menurutnya, seluruh umat manusia wajib diseru masuk agama Islam.

Sekiranya mereka tidak mau masuk Islam dan tak mau membayar retribusi ( jizyah ), mereka wajib diperangi. Ibn Katsîr
dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azhim berkata, ayat tersebut merupakan perintah agar umat Islam tak memaksa orang lain
masuk Islam. Sementara Thabathaba’i dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an berpendapat, ayat itu tak mungkin dinaskh
tanpa menaskh alasan hukumnya (illah al-hukm). Illat hukum
itu tertera secara eksplisit dalam kalimat berikutnya yang menyatakan, antara al-rusyd (kebenaran) dan al-ghayy
(kesesatan) sudah jelas.

Kedua , ayat tersebut tak dinaskh. Tapi, ia turun secara khusus
kepada Ahli Kitab. Mereka tak bisa dipaksa masuk Islam selama masih membayar retribusi (jizyah ).

Pendapat ini dikemukakan al-Sya`bi, Qatadah, al-Hasan, dan al-Dhahhak.
Para ulama tersebut memperkuat argumennya dengan riwayat Zaid ibn Aslam dari bapaknya. Ia mendengar Umar ibn Khattab
berbincang dengan seorang perempuan tua beragama Kristen.
“Masuk Islamlah, wahai perempuan tua, niscaya engkau akan
selamat, karena Allah mengutus Muhammad SAW dengan
membawa kebenaran. Lalu perempuan itu berkata, saya sudah
tua renta dan sebentar lagi kematian akan menjemput. Umar
berkata, Wahai Allah, saya bersaksi atas perempuan ini. Umar
kemudian membaca ayat tadi.

Sementara pendapat lain menyatakan bahwa sebab turun ayat tersebut sebagai berikut. Pertama , diriwayatkan Abu Dawud,
al-Nasa’i, Ibn Hibban, Ibn Jarir dari Ibn Abbas. Alkisah, ada
seorang perempuan tidak punya anak. Ia berjanji pada dirinya
bahwa sekiranya ia mempunyai anak, maka anaknya akan dijadikan seorang Yahudi. Ia tak akan membiarkan anaknya
memeluk agama selain Yahudi. Dengan latar itu, ayat ini turun
sebagai bentuk penolakan terhadap adanya pemaksaan dalam agama.

Kedua , ayat itu turun terkait peristiwa seorang laki-laki Anshar, Abu Hushain. Dikisahkan, Abu Hushain adalah seorang Muslim yang memiliki dua anak Kristen. Ia mengadu
kepada Nabi, apakah dirinya boleh memaksa dua anaknya masuk Islam, sementara anaknya cenderung kepada Kristen.
Ia menegaskan kepada Nabi, apakah dirinya akan membiarkan mereka masuk neraka. Dengan kejadian tersebut, turun firman
Allah tadi yang melarang pemaksaan dalam urusan agama.

Dengan mengetahui sabab al-nuzûl tersebut, jelas bahwa pemaksaan dalam agama tak dibenarkan. Ibrahim al-Hafnawi
menegaskan bahwa kebebasan beragama merupakan prinsip
dasar ajaran Islam, sehingga tak ditemukan satu ayat pun dalam al-Qur’an atau sebuah hadits yang bertentangan
dengan prinsip dasar ajaran ini.

Beriman merupakan pilihan,
kesadaran dan ketundukan subyektif manusia atas ajaran- ajaran Allah.

Menjadi hak setiap orang untuk percaya bahwa agamanya benar. Namun, dalam waktu bersamaan, seseorang harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Sebab, persoalan keyakinan merupakan perkara pribadi (qadliyah
syahshiyyah ) dari setiap orang, sehingga tak boleh ada paksaan. Jamal al-Banna dalam Hurriyah al-Fikr wa al-I’tiqad
fi al-Islam menegaskan, Nabi hanya sekadar penyampai pesan.

Dia tak punya kewenangan untuk memaksa. Allah berfirman dalam al-Qur’an (al-Ghasyiyah [88]: 21-22) “maka
berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu adalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukan orang yang berkuasa
atas mereka”. Di ayat lain Allah berfirman (QS, Yunus [10]: 99),

”Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu akan beriman semua orang yang ada di bumi seluruhnya. Maka apakah kamu
hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang- orang beriman semuanya? Tak seorang pun akan beriman
kecuali dengan ijin Allah”.

Abdul Karim Soroush membuat sebuah ilustrasi. Bahwa
sebagaimana seseorang menghadapi kematian secara sendirian, maka ia pun memeluk agama secara individual.
Setiap umat beragama memang melakukan aksi dan ritus komunal, tetapi bukan keimanan komunal. Jika ekspresi iman
bersifat publik, maka esensi iman bersifat gaib dan privat. Bagi
Soroush, wilayah iman seperti arena akhirat yang di dalamnya setiap orang dinilai satu-satu. Disebutkan,

“Tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-
sendiri”. Allah berfirman dalam al-Qur’an (Maryam [19]: 95)
“wa kulluhum atihi yawm al-qiyamah farda”.

Tidak banyak manfaatnya memaksa seseorang memeluk suatu
agama, kalau tidak diikutii kepercayaan dan keyakinan dari orang tersebut. Agama yang dipaksakan, menurut Jawdat
Sa’id, sama dengan cinta yang dipaksakan. “Tidak ada agama
dengan paksaan, sebagaimana tidak ada cinta dengan paksaan”. Memeluk suatu agama sejatinya harus diikuti
dengan keyakinan yang mendalam terhadap ajaran yang ditetapkan agama itu. Bahkan, setiap orang punya hak memilih
antara beragama atau tidak beragama. Nabi pernah menawarisalah seorang budak perempuannya, Rayhanah binti Zaid,
untuk masuk Islam. Namun, Rayhanah lebih memilih Yahudi
sebagai agamanya. Nabi tak marah pada Rayhanah hingga akhirnya ia sendiri yang memutuskan masuk Islam. Ini sebuah
teladan. Sebagai majikan pun Nabi tak memaksa budaknya mengikuti agama yang dianutnya.

Tidak dibolehkannya melakukan pemaksaan dalam agama ini
bisa dimaklumi, karena Allah memposisikan manusia sebagai makhluk berakal. Dengan akalnya manusia bisa memilih agama yang terbaik buat dirinya. Allah berfirman (QS, al-Kahfi [18]: 29),

“Katakanlah: “kebenaran datang dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang beriman, silahkan, dan barangsiapa
yang ingin kafir, biarlah kafir. Ini berarti, manusia tak memiliki
kewenangan menilai dan mengintervensi keimanan seseorang.
Tuhan yang berhak menilai benar dan tidaknya keyakinan.

Itu pun dilakukan di akhirat kelak. Allah berfirman (QS, al-Sajdah [32]: 25)
“sesungguhnya Tuhanmu yang akan memberikan vonis terhadap perselisihan yang terjadi di antara mereka,
nanti pada hari kiamat. Karena keimanan berpangkal pada
keyakinan yang terpatri dalam hati, maka yang mengetahui hakekat keberimanan seseorang hanya Allah. Beriman adalah
tindakan soliter. Iman merupakan bagian dari komitmen pribadi.

Meminjam terminologi ushul fikih, persoalan beriman dan tidak
beriman merupakan haq Allah (hak Allah). Artinya, beriman dan tidak beriman merupakan urusan manusia secara
individual dengan Tuhannya, Allah. Pilihan iman atau kufr
merupakan tindakan privat-individual. Adalah hak setiap orang untuk kufr atau iman. Sebab, keimanan dan kekufuran tidak
dipertanggungjawabkan kepada manusia, melainkan kepada Allah.

Tanggung jawab berada di tangan yang bersangkutan dalam hubungannya dengan Allah. Seseorang tak akan
dimintai pertanggungan jawab atas dosa orang lain. Demikian pula sebaliknya. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an (Saba’ [34]: 25),

”katakanlah, kalian tak akan diminta
mempertanggungjawabkan dosa-dosa kami. Kami pun takakan mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatan
kalian”.

Selasa, 11 November 2014

Al Baqa' wa al-Yaqin "Bakyak" PROF DR KH SAID AQIL SIROJ, MA

SULUK KAUM SARUNGAN (SANTRI)

Ciri khas penampilan dalam berpakaian kaum sarungan (santri) adalah tidak lepas dari bakyak, sarung, baju koko dan kopyah.

Banyak filosofi yang terkandung dalam simbolisasi penamaan pakaian kaum sarungan tersebut, diantaranya:

1. Bakyak asal katanya dari al-Baqa’ wa al-Yaqin. Ke mana-mana selalu ingat Allah, meyakini bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha
Kekal. Karena lidah Jawa sulit mengucapkannya maka Baqa’ dibaca
“Bakyak”.

2. Sarung asal katanya dari Syar’an. Artinya dalam kehidupannya senantiasa mengamalkan syariat Islam. Karena lidah Jawa sulit mengucapkannya maka Syar’an dibaca “Sarungan”.

3. Baju koko asal katanya dari potongan ayat Walibasuttaqwa dzalika khair (QS. al-A’raf ayat 26).
Senantiasa mengingatkan bahwa pakaian taqwa adalah sebaik-baik pakaian. Karena lidah Jawa sulit mengucapkannya maka Taqwa dibaca “Koko”.

4. Kopyah asal katanya dari Khufyah, artinya disembunyikan. Walau kepala kita pintar dan jenius jangan dipamerkan dan jangan
ditonjokan, tapi disembunyikan. Kalau orang pakai kopyah berarti mengingatkan untuk tidak sombong. Karena lidah Jawa sulit
mengucapkannya maka Khufyah dibaca “Kopyah”.
Dalam Dalam suatu syair disebutkan:

ﻭﺧﻲ ﻟﺒﺎﺱ ﺍﻟﻤﺮﺀ ﻃﺎﻋﺔ ﺭﺑﻪ * ﻭﻻ ﺧﻴﺮ ﻓﻴﻤﻦ ﻛﺎﻥ ﻟﻠﻪ ﻋﺎﺻﻴﺎ

“Baju dan hiasan yang paling indah adalah taat kepada Rabbnya #
Dan tidak ada kebaikan bagi orang yang bermaksiat pada Allah.”

(Di transkrif  dari taushiyyah Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj Ketum
PBNU di Pondok Pesantren Daris Sulaimaniyyah Kamulan Durenan
Trenggalek).

http://m.youtube.com/watch?v=YPW2RZ6lKd4

Wallahu al-Musta’an A’lam.

Sya’roni As-Samfuriy, Raenaldy Abdillah
cikarang, bekasi  tengah malem.

Jumat, 07 November 2014

I’anatut Thalibin Syarh Fathul Mu'in Bab Jihad oleh Kang Said ( Prof Dr KH Said Aqil Siroj,.MA)

Laa ikraaha fiddin, ay laa diina fi ikraah.

Tidak ada kekerasan dalam agama, dan tidak ada agama dalam kekerasan.

Sepanjang sejarahnya, kebudayaan dan peradaban manusia memang sangat beragam dalam hal ekpresi, bentuk, bahasa, hingga nalarnya.
Dalam keberagaman itulah, menarik untuk melihat fakta bahwa selalu saja ada hal-hal yang tidak identik di sana-sini.

Berkesempatan mengunjungi sejumlah
kawasan didunia, saya kerap menemukan satu kemiripan yang
– entah kenapa – Nampak alamiah dan natural. Di sini “begitu” di sana juga “begitu”. Kemiripan tersebut, jika direntang dengan skala waktu jauh mundur ke masa silam,
juga bisa ditemukan dalam banyak sekali manuskrip, catatan sejarah, peribahasa, epos, legenda, syair, dan sebagainya.

Kemiripan yang saya maksud berkaitan dengan satu lapisan istimewa dalam sebuah anatomi masyarakat/ komunitas.
Lapisan itu menjadi istimewa, pada dasarnya, karena perpaduan antara “momentum waktu” dan “letupan energi”.

Lapisan itu kerap dikaitkan dengan apa yang sering disebut sebagai revolusi, pembaharuan, hingga pemberontakan.
Di Indonesia, lapisan ini menempati suatu ruang makna yang sedemikian istimewa dari masa ke masa. Konstruksi dan
konvensi bahasa membuatnya jadi peristiwa sejarah, organisasi, penanda jalan, hingga nama sebuah kementerian.

Di tangan mereka, masa kini menjadi penuh dengan gairah, sementara masa depan seolah penuh dengan harapan cerah.
Lapisan ini bernama pemuda, sebuah nama yang menjadi contoh bagus untuk menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya
soal memberi nama bagi gejala dan fakta, tapi juga cara manusia mendekatkan harapan dengan kenyataan.

Begitulah, karena begitu banyak konotasi yang disematkan pada pemuda, dengan sendirinya kata pemuda menjadi sangat romantic.

Dari situ kemudian muncul ukuran-ukuran yang sangat ideal – ukuran yang menjauhkan perhatian dari kenyataan.
Tak heran, ketika terjadi sesuatu yang “menyimpang”, ukuran-ukuran itu justru mengantarkan pada kekagetan-kekagetan yang tak perlu. Dan sebagaimana
dialami oleh sejumlah kata romantic lainnya, kata pemuda, dengan sendirinya selalu saja mengandung dua sisi kontradiktif: dirayakan dan diratapi.

Dua Gejala tentang Pemuda.

Dengan mengacu Undang-undang No. 40 Tahun 2009.
Tentang Kepemudaan, sejumlah penduduk dengan usia muda di Indonesia kini, mencapai kisaran 60 juta lebih. Ini tentu
bukan jumlah yang sedikit dan menjadi makin bermakna ketika banyak pihak getol membicarakan tumbuhnya “kelas
menengah” dan “bonus demografi”. Perbincangan tentang “kelas menengah” dan ‘bonus demografi” ini lalu dihubungkan dengan peningkatan daya beli, produktivitas, kreativitas, pendidikan, inovasi, akses teknologi, dan semacamnya.

Dengan ukuran Bank Dunia, tiap hari di Indonesia terdapat 55 persen orang yang membelanjakan uang antara 2 dolar AS hingga 22 dolar AS. 45 juta orang tergolong ke dalam
kelompok kelas menengah. Jumlah itu menyumbang secara signifikan pertumbuhan ekonomi nasional di atas enam persen.

Sesuatu yang menggembirakan di tengah-tengah terjadinya krisis global yang melanda banyak Negara, terutama di Eropa.

Populasi penduduk usia muda lantas kerap disanjung sebagai lapisan yang menopang Indonesia sebagai salah satu
kekuatan baru ekonomi yang sedang muncul (emerging). Tren kewirausahaan (enterpreneuship) Indonesia diperkirakan akan
terus menikmati berkah ini hingga setidaknya 30 tahun ke depan. Konsumsi domestic naik dan investasi membanjir.
Banyak yang berbunga-bunga membayangkan betapa lapang jalan menuju akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional yang
dipenuhi anak-anak muda produktif itu.
Ini gejala yang pertama. Bagi mereka yang semata melihat dari sudut pandang global finance , kisah tentang peluang dan
capaian materialistic ini adalah hal yang patut dirayakan.

Narasi kisah berhenti dan perbincangan selesai pada titik jika Indonesia berhasil menjadi kekuatan ekonomi. Agak berbeda
dengan wacana tahun 1980-an yang mengaitkan kelas menengah dengan banyak dimensi kehidupan lain, wacana
kelas menengah (plus bonus demografi) belakangan ini mencerminkan nalar ceteris paribus yang begitu kental. Dalam
nalar ceteris paribus , sadar-tak-sadar, semua faktor dan konsekuensi no-ekonomi yang timbul akan dianggap sebagai hasil sampingan belaka, all other things being equa.

Kecenderungan nalar ceteris paribus ini nampaknya bisa kita temukan pula pada jenis gejala yang kedua.
Gejala ini berkaitan dengan adanya indikasi (atau malah fakta) radikalisasi kaum muda. Terdapat banyak orasi, diskusi, tulisan tersiar, dan laporan penelitian yang menyalakan
semacam “lampu kuning” peringatan.

Jaringan radikal telah menembus tak hanya sekat pergaulan anak-anak muda, tapi juga alam kognisi mereka. Misalnya, sebuah survei dikalangan siswa dan guru Agama Islam di daerah Jabodetabek melaporkan setidaknya 50 persen responden menyatakan setuju terhadap penggunaan kekerasan demi agama.

Sejumlah tindak kekerasan, terror, juga bom bunuh diri, dilaporkan banyak yang berusia muda. Diantara mereka ada yang berasal dari kalangan yang mengeyam pendidikan di perguruan tinggi.

Dalam berbagai kesempatan kerap saya mendengar organisasi Rohis (Kerohanian Islam) disangkut-pautkan dengan gejala
radikalisasi itu.
Tentu saja hal semacam itu merupakan
simplifikasi karena jam pelajaran agama dan keanggotaan Rohis di sekolah-sekolah bukanlah hal yang dominan. Saya
tak yakin juga jika kurikulum resmi pelajaran agama yang “jauh dari cukup” itu bisa mengondisikan atmosfer radikal bagi
anak-anak muda.

Bagi mereka yang cenderung mudah mengobral istilah, gejala radikalisme di kalangan anak muda ini merupakan sesuatu yang diratapi.
Ratapan biasanya mendorong orang untuk melihat suatu gejala secara terbatas. Gejala menjadi mengecil seturut dengan penyempitan cara pandang.

Dalam situasi yang demikian ini berlangsung monolog yang tidak jelas ujung dan pangkalnya.

Nah, terhadap dua gejala di atas, mungkin akan timbul pertanyaan.
Bagaimana bisa pemuda di satu sisi disanjung
karena menjadi penduduk produktif namun dalam waktu yang sama juga diratapi karena cenderung mudah menjadi penganut
agama yang radikal?

Apa yang sebenarnya telah terjadi?

Disebuah negeri ketika kerja-kerja kebangsaan sulit bersinergi dan cenderung berjalan sendiri-sendiri, pernyataan macam itu
menjadi sangat susah dijawab karena adanya kebiasaan terburu-buru mengajukan kesimpulan sebelum memperoleh kejelasan gambaran persoalan (al -idrak qabla at-tashawur) .

Meluruskan Salah Kaprah.

Ijinkan saya turut berbagi pikiran dari jarak tertentu.
Saya memilih untuk menimba insirasi dan pelajaran dari kearifan khasanah perbendaharaan pesantren.

Saya memilih kata kunci “JIHAD” sebagai jalan masuk untuk menyisir dua arus gejala yang sudah dipaparkan sebelumnya sembari
melihat kemungkinan pemaknaan ulang atas terma “jihad” ini.

Sebelum lebih lanjut, satu catatan mesti segera dibuat. Saya berusaha menghindari penggunaan kata yang cenderung menjebak kita pada salah-kaprah.

Betapa banyak kata yang berseliweran tanpa sebenarnya kita betul-betul memahami dan menyepakati kandungan dan batasan dari sebuah istilah.

Sebagai missal, kata Islam, radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme cenderung mudah dipertukarkan. Ini kekaburan yang
cenderung disepelekan. Maka, jika saya menyebut Islam, sebagai missal, saya berharap anda tidak buru-buru memahami Islam sebagaimana kekaburan pengertian Islam dalam banyak nama organisasi kemasyarakatan.

Prinsip dasar Islam sebagaimana dibawakan dalam risalah Nabi Muhammad Saw. Ialah penyempurnaan akhlak, etika, atau moral ( Li- Itmam makarim al akhlaq ).  
 
Sehingga keberadaan agama Islam adalah untuk membentuk sebuah tatanan kehidupan manusia yang harmonis, damai, dan sejahtera. Nilai-nilai dasar inilah yang menjadikan agama Islam sebagai agama yang bersifat universal dan inklusif.

Manusia sendiri digariskan untuk menjadi khalifah Allah.
Artinya, umat Islam dituntut untuk selalu menjaga keharmonisan hidup di tengah dua karakter yang ada dalam dirinya: ifsad fil ardl  (kecenderungan membuat kerusakan dimuka bumi) dan safk al-dima'  (potensi konflik antar sesama manusia).

Keharmonisan ini tercermin dari peristiwa “fathul makkah ” (pembebasan kota Mekah) yang mencapai sukses
besar tanpa tetesan darah.

Nah, sebelum opini dunia tentang “terorisme Islam” muncul mendominasi isi media, pernah terdengar sebutan “fundamentalisme Islam”. Dalam bahasa Arab “fundamentalisme” atau “al-ushuliyah" , berarti “mendasar atau disiplin dalam menjalankan kewajiban agama”.

Dengan demikian, “muslim fundamental” adalah seorang muslim yang berhati-hati dalam menjalankan ajaran Islam, seperti shalat lima waktu secara berjama’ah, menghindari sesuatu yang tidak jelas kehalalannya. Termasuk “muslim fundamental” ini adalah para zahid, orang-orang yang menjaga diri dan agamanya dan juga para sufi.

Dalam konteks pengertian ini,
umat Islam diserukan untuk melaksanakan ajaran agamanya secara fundamental. Pengertian macam ini agak terdengar
aneh dalam konteks percakapan kita hari-hari ini.

Sedangkan “radikalisme” dalam bahasa Arab disebut “syidah al-tanatu  ”. Artinya, keras, ekslusif, berpikiran sempit, riqid,
serta memonopoli kebenaran. Muslim radikal adalah orang Islam yang berfikiran sempit, kaku dalam memahami Islam
serta bersifat eklusif dalam memandang agama-agama lainnya.

Kelompok radikal selalu ada padas setiap agama, termasuk dalam agama Islam. Dalam Islam, kelompok radikal muncul semenjak terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, menyusul kemudian Ali bin Abi Thalib yang dilakukan oleh umat Islam sendiri.

Saat itu Islam radikal diwakili oleh kelompok Khawarij.
Abdurrahman Bin Muljam, salah satu pengikut Khawarij, ialah contoh bagus tentang bahaya gairah usia muda yang tidak diimbangi dengan pemahaman keagamaan yang memadai.

Dibandingkan dengan rata-rata aktivis Islam muda di Indonesia, Abdurrahman Bin Muljam barangkali jauh lebih berkualifikasi. Ia ahli ibadah puasa di siang hari, giat menegakkan shalat malam, dan penghafal al Quran ( Shaimun nahar-Qaimul layl - hafidzul Quran  ). Tapi, siapa sangka, justru pemuda inilah yang terlibat dalam konspirasi pembunuhan
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib KW.

Pemahaman yang kurang memadai cenderung membuat pemeluk agama menjadi fanatic. Memahami jihad semata sebagai tindakan kekerasan yang dibenarkan agama sama
kelirunya dengan memahami Indonesia hanya sebatas pulau Jawa.

Pemahaman macam itu tentu saja tidak salah, hanya kurang memadai. Kata jihad kini terkesan “angker”, sarat dengan pemahaman yang serba fisik. Tetapi, istilah jihad ini pula yang akhir-akhir ini membuat nama Islam di kancah Internasional lebih mendapat sisi peyoratifnya dibanding positifnya.

Tak lain, hal ini muncul karena penyempitan makna jihad. Pemahaman seperti ini tidak-bisa-tidak perlu dikoreksi.

BELAJAR DARI KITAB I'ANATUT THOLIBIN 

Jihad berasal dari kat kerja ‘jahada’. Artinya, usaha atau upaya.
Ber-‘jihad’ adalah membangun sesuatu yang sifatnya fisik maupun non-fisik.

Sebutan lain yang berasal dari akar kata jihad ini, pertama, adalah “ijtihad”, yang berarti usaha untuk membangun sisi intelektualitas manusia, seperti ijtihad para ulama atau kiai dalam forum bahtsul masail.
Kedua, ‘mujahadah’, yang berarti upaya sungguh-sungguh membangun spiritualitas manusia.
Kemudian dalam perkembangannya, jihad mengarah pada pengertian tertentu
yang menekankan sesuatu yang sifatnya fisik dan material.

Sedangkan ijtihad dan mujahadah penekanannya pada non- fisik atau immaterial. Masing-masing dari ketiganya ini
menempati nilai dan posisi tersendiri dalam Islam. dalam tradisi kesufian misalnya, ketiga-tiganya akan bisa membawa
manusia pada tingkatan yang disebut “insan kamil” atau “manusia paripurna”.

Tapi dalam perbincangan mutakhir, kata ‘jihad’ nampaknya lebih banyak digemborkan ketimbang ijtihad dan mujahadah.
Ini diperparah lagi dengan penyempitan makna jihad sebagai tindakan fisik yang berkonotasi kekerasan, kekejaman, kebrutalan dan bahkan pertumpahan darah. Kian parah lagi,
kata jihad banyak diklaim untuk membenarkan tragedy kemanusiaan sebagai akibat dari ulah onar gerakan “Islam garis-keras”.

Disini tak hanya kata jihad itu sendiri, tapi juga
Islam, tengah mengalami korupsi pemaknaan.
Al-Qur’an menyebut kata “jihad” sebanyak 41 kali. Bersama dengan ijtihad dan mujahadah, kata jihad mengandung makna keseriusan dan kesungguh-sungguhan. Jika jihad lebih berkaitan dengan aspek fisik dan material, maka ijtihad lebih berhubungan dengan pencurahan rasio (akal) yang dilakukan oleh para mujtahid dalam menempuh prosedur penetapan hukum (istimbathul ahkam). Ijtihad juga menyangkut penemuan teori-teori baru dalam semua disiplin ilmu.

Sedangkan mujahadah lebih berkaitan dengan kesungguhan ruhani yang bersifat kontemplatif. Mujahadah umumnya
berkembang dan diajarkan dalam dunia tasawuf. Ketiga terma ini merupakan bangunan utuh yang tak bisa diceraikan dan
dipisah begitu saja.

Khususnya mengenai “jihad”, kita dapat merujuk salah satu kitab yang banyak dan umum dikaji di pesantren-pesantren.
Kitab itu berjudul I’anatut Thalibin syarh Fathul Mu’in.

Dalam berbagai kesempatan, saya kerap membahas rujukan ini bukan hanya karena implikasi maknanya, tapi juga karena kesederhanaan cara tuturnya. Dalam kitab itu disebutkan, “al- jihadu fardhlu kifayatin marratan fi kulli ‘aam”, bahwa hukum
melakukan jihad ialah fardhlu kifayah dalam setiap tahun.

Harus ada sekelompok orang yang menunaikan kewajiban ini, karena jika tidak ada seorangpun, semua komunitas muslim menanggung dosa.

Selanjutnya jihad memiliki itu ada empat macam bentuk: menurut Kang Said dalam cermahnya ( link video dibawah).

pertama, itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah SWT di muka bumi, seperti dengan melantunkan adzan, takbari
serta bermacam-macam dzikir dan wirid.

Kedua adalah iqamatu syari’atillah , menegakkan syari’at Allah (baca: nilai-
nilai agama), seperti shalat, puasa, zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan sebagainya;

Ketiga qital fi sabilillah , artinya jika ada komunitas yang mengancam keselamatan, maka perang di jalan Allah baru bisa dibenarkan; dan bentuk keempat daf’u dlararil ma’shumin , musliman kana
au dzimmiyyan , yakni mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yang harus ditanggung (oleh pemerintah) baik itu yang
muslim maupun non-muslim.

Cara pemenuhan kebutuhan
tersebut diterangkan dengan mencukupi sandang ( al-Iksa’ ),
pangan (al-Ith’am ), papan (al-iskan ), dan jaminan kesehatan
( Tsaman al-dawa’ serta Ujrah al-Tamridl ).

Dalam paparan ini terlihat jelas betapa luas cakupan dari proyek bernama “jihad” itu. Persoalan jihad yang kerap
dimaknai sekadar ”berani mati” ternyata lebih mudah. Jauh lebih sulit adalah memenuhi panggilan untuk “berani hidup”.

Dialog dua Monolog di atas kita pertama-tama telah menghampiri dua arus gejala.

Gejala pertama menyangkut peluang ekonomi, gejala kedua tentang tren radikalisasi. Kedua gejala itu sama-sama punya medan yang sama yaitu keterlibatan pemuda. Masing-masing tafsir atas dua gejala itu cenderung menyempit menjadi monolog di wilayah pembahasannya masing-masing.

Pemyempitan itu bisa kita sebut sebagai semacam monolog.
Mengapa monolog? Tak lain karena kecenderungan mengabaikan faktor dan konsekuensi yang boleh jadi punya tali-temali yang panjang. Monolog tentang “tumbuhnya kelas menengah” dan “bonus demografi” seolah tak mungkin menyentuh persoalan keagamaan. Sebaliknya, wacana tentang
radikalisme seperti tergambar dalam istilah “jihad” menjadi monolog yang kerdil, sebatas pembenaran tindak kekerasan atas nama agama.

Masing-masing pendekatan dalam dua
monolog itu punya kelemahan dan kelebihannya.
Yang pertama menawarkan kemungkinan kesejahteraan melalui ukuran-ukuran materialistic, namun cenderung abai pada bentuk-bentuk potensi “kejiwaan” manusia. Sementara yang kedua cenderung terlalu berhasrat pada pemenuhan atas ilusi
surgawai sembari lupa pada persoalan-persoalan nyata di bumi manusia.

Karena tawaran perspektif seperti tergambar dalam Kitab klasik I’anatut Thalibin itu, bagi saya, sangat menyegarkan.

Bukan saja kita perlu bertolak pada “apa yang ada” agar sebuah strategi kebudayaan bisa efektif, namun juga merintis
jalan bagi kemungkinan mentransendensikan semua pernik gejala agar kita bisa sampai pada paradigm membangun manusia yang paripurna.

Sembari mengasah kemampuan ijtihad dan mujahadah,
Pemuda Indonesia wajib untuk terus berjihad. Jihad para pemuda diperlukan untuk memastikan bahwa negeri ini punya
keunggulan spiritualitas sekaligus jaminan hidup yang berkualitas.

Jihad tak boleh padam, jihad tak boleh
disempitkan.

sumber dari video yg d transkrif dari tausiyah nya PROF DR KH Kiyai Sad Aqil Siroj MA
silahkan d simak videonya:

http://m.youtube.com/watch?v=q9RKB2zcMns