Jumat, 07 November 2014

I’anatut Thalibin Syarh Fathul Mu'in Bab Jihad oleh Kang Said ( Prof Dr KH Said Aqil Siroj,.MA)

Laa ikraaha fiddin, ay laa diina fi ikraah.

Tidak ada kekerasan dalam agama, dan tidak ada agama dalam kekerasan.

Sepanjang sejarahnya, kebudayaan dan peradaban manusia memang sangat beragam dalam hal ekpresi, bentuk, bahasa, hingga nalarnya.
Dalam keberagaman itulah, menarik untuk melihat fakta bahwa selalu saja ada hal-hal yang tidak identik di sana-sini.

Berkesempatan mengunjungi sejumlah
kawasan didunia, saya kerap menemukan satu kemiripan yang
– entah kenapa – Nampak alamiah dan natural. Di sini “begitu” di sana juga “begitu”. Kemiripan tersebut, jika direntang dengan skala waktu jauh mundur ke masa silam,
juga bisa ditemukan dalam banyak sekali manuskrip, catatan sejarah, peribahasa, epos, legenda, syair, dan sebagainya.

Kemiripan yang saya maksud berkaitan dengan satu lapisan istimewa dalam sebuah anatomi masyarakat/ komunitas.
Lapisan itu menjadi istimewa, pada dasarnya, karena perpaduan antara “momentum waktu” dan “letupan energi”.

Lapisan itu kerap dikaitkan dengan apa yang sering disebut sebagai revolusi, pembaharuan, hingga pemberontakan.
Di Indonesia, lapisan ini menempati suatu ruang makna yang sedemikian istimewa dari masa ke masa. Konstruksi dan
konvensi bahasa membuatnya jadi peristiwa sejarah, organisasi, penanda jalan, hingga nama sebuah kementerian.

Di tangan mereka, masa kini menjadi penuh dengan gairah, sementara masa depan seolah penuh dengan harapan cerah.
Lapisan ini bernama pemuda, sebuah nama yang menjadi contoh bagus untuk menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya
soal memberi nama bagi gejala dan fakta, tapi juga cara manusia mendekatkan harapan dengan kenyataan.

Begitulah, karena begitu banyak konotasi yang disematkan pada pemuda, dengan sendirinya kata pemuda menjadi sangat romantic.

Dari situ kemudian muncul ukuran-ukuran yang sangat ideal – ukuran yang menjauhkan perhatian dari kenyataan.
Tak heran, ketika terjadi sesuatu yang “menyimpang”, ukuran-ukuran itu justru mengantarkan pada kekagetan-kekagetan yang tak perlu. Dan sebagaimana
dialami oleh sejumlah kata romantic lainnya, kata pemuda, dengan sendirinya selalu saja mengandung dua sisi kontradiktif: dirayakan dan diratapi.

Dua Gejala tentang Pemuda.

Dengan mengacu Undang-undang No. 40 Tahun 2009.
Tentang Kepemudaan, sejumlah penduduk dengan usia muda di Indonesia kini, mencapai kisaran 60 juta lebih. Ini tentu
bukan jumlah yang sedikit dan menjadi makin bermakna ketika banyak pihak getol membicarakan tumbuhnya “kelas
menengah” dan “bonus demografi”. Perbincangan tentang “kelas menengah” dan ‘bonus demografi” ini lalu dihubungkan dengan peningkatan daya beli, produktivitas, kreativitas, pendidikan, inovasi, akses teknologi, dan semacamnya.

Dengan ukuran Bank Dunia, tiap hari di Indonesia terdapat 55 persen orang yang membelanjakan uang antara 2 dolar AS hingga 22 dolar AS. 45 juta orang tergolong ke dalam
kelompok kelas menengah. Jumlah itu menyumbang secara signifikan pertumbuhan ekonomi nasional di atas enam persen.

Sesuatu yang menggembirakan di tengah-tengah terjadinya krisis global yang melanda banyak Negara, terutama di Eropa.

Populasi penduduk usia muda lantas kerap disanjung sebagai lapisan yang menopang Indonesia sebagai salah satu
kekuatan baru ekonomi yang sedang muncul (emerging). Tren kewirausahaan (enterpreneuship) Indonesia diperkirakan akan
terus menikmati berkah ini hingga setidaknya 30 tahun ke depan. Konsumsi domestic naik dan investasi membanjir.
Banyak yang berbunga-bunga membayangkan betapa lapang jalan menuju akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional yang
dipenuhi anak-anak muda produktif itu.
Ini gejala yang pertama. Bagi mereka yang semata melihat dari sudut pandang global finance , kisah tentang peluang dan
capaian materialistic ini adalah hal yang patut dirayakan.

Narasi kisah berhenti dan perbincangan selesai pada titik jika Indonesia berhasil menjadi kekuatan ekonomi. Agak berbeda
dengan wacana tahun 1980-an yang mengaitkan kelas menengah dengan banyak dimensi kehidupan lain, wacana
kelas menengah (plus bonus demografi) belakangan ini mencerminkan nalar ceteris paribus yang begitu kental. Dalam
nalar ceteris paribus , sadar-tak-sadar, semua faktor dan konsekuensi no-ekonomi yang timbul akan dianggap sebagai hasil sampingan belaka, all other things being equa.

Kecenderungan nalar ceteris paribus ini nampaknya bisa kita temukan pula pada jenis gejala yang kedua.
Gejala ini berkaitan dengan adanya indikasi (atau malah fakta) radikalisasi kaum muda. Terdapat banyak orasi, diskusi, tulisan tersiar, dan laporan penelitian yang menyalakan
semacam “lampu kuning” peringatan.

Jaringan radikal telah menembus tak hanya sekat pergaulan anak-anak muda, tapi juga alam kognisi mereka. Misalnya, sebuah survei dikalangan siswa dan guru Agama Islam di daerah Jabodetabek melaporkan setidaknya 50 persen responden menyatakan setuju terhadap penggunaan kekerasan demi agama.

Sejumlah tindak kekerasan, terror, juga bom bunuh diri, dilaporkan banyak yang berusia muda. Diantara mereka ada yang berasal dari kalangan yang mengeyam pendidikan di perguruan tinggi.

Dalam berbagai kesempatan kerap saya mendengar organisasi Rohis (Kerohanian Islam) disangkut-pautkan dengan gejala
radikalisasi itu.
Tentu saja hal semacam itu merupakan
simplifikasi karena jam pelajaran agama dan keanggotaan Rohis di sekolah-sekolah bukanlah hal yang dominan. Saya
tak yakin juga jika kurikulum resmi pelajaran agama yang “jauh dari cukup” itu bisa mengondisikan atmosfer radikal bagi
anak-anak muda.

Bagi mereka yang cenderung mudah mengobral istilah, gejala radikalisme di kalangan anak muda ini merupakan sesuatu yang diratapi.
Ratapan biasanya mendorong orang untuk melihat suatu gejala secara terbatas. Gejala menjadi mengecil seturut dengan penyempitan cara pandang.

Dalam situasi yang demikian ini berlangsung monolog yang tidak jelas ujung dan pangkalnya.

Nah, terhadap dua gejala di atas, mungkin akan timbul pertanyaan.
Bagaimana bisa pemuda di satu sisi disanjung
karena menjadi penduduk produktif namun dalam waktu yang sama juga diratapi karena cenderung mudah menjadi penganut
agama yang radikal?

Apa yang sebenarnya telah terjadi?

Disebuah negeri ketika kerja-kerja kebangsaan sulit bersinergi dan cenderung berjalan sendiri-sendiri, pernyataan macam itu
menjadi sangat susah dijawab karena adanya kebiasaan terburu-buru mengajukan kesimpulan sebelum memperoleh kejelasan gambaran persoalan (al -idrak qabla at-tashawur) .

Meluruskan Salah Kaprah.

Ijinkan saya turut berbagi pikiran dari jarak tertentu.
Saya memilih untuk menimba insirasi dan pelajaran dari kearifan khasanah perbendaharaan pesantren.

Saya memilih kata kunci “JIHAD” sebagai jalan masuk untuk menyisir dua arus gejala yang sudah dipaparkan sebelumnya sembari
melihat kemungkinan pemaknaan ulang atas terma “jihad” ini.

Sebelum lebih lanjut, satu catatan mesti segera dibuat. Saya berusaha menghindari penggunaan kata yang cenderung menjebak kita pada salah-kaprah.

Betapa banyak kata yang berseliweran tanpa sebenarnya kita betul-betul memahami dan menyepakati kandungan dan batasan dari sebuah istilah.

Sebagai missal, kata Islam, radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme cenderung mudah dipertukarkan. Ini kekaburan yang
cenderung disepelekan. Maka, jika saya menyebut Islam, sebagai missal, saya berharap anda tidak buru-buru memahami Islam sebagaimana kekaburan pengertian Islam dalam banyak nama organisasi kemasyarakatan.

Prinsip dasar Islam sebagaimana dibawakan dalam risalah Nabi Muhammad Saw. Ialah penyempurnaan akhlak, etika, atau moral ( Li- Itmam makarim al akhlaq ).  
 
Sehingga keberadaan agama Islam adalah untuk membentuk sebuah tatanan kehidupan manusia yang harmonis, damai, dan sejahtera. Nilai-nilai dasar inilah yang menjadikan agama Islam sebagai agama yang bersifat universal dan inklusif.

Manusia sendiri digariskan untuk menjadi khalifah Allah.
Artinya, umat Islam dituntut untuk selalu menjaga keharmonisan hidup di tengah dua karakter yang ada dalam dirinya: ifsad fil ardl  (kecenderungan membuat kerusakan dimuka bumi) dan safk al-dima'  (potensi konflik antar sesama manusia).

Keharmonisan ini tercermin dari peristiwa “fathul makkah ” (pembebasan kota Mekah) yang mencapai sukses
besar tanpa tetesan darah.

Nah, sebelum opini dunia tentang “terorisme Islam” muncul mendominasi isi media, pernah terdengar sebutan “fundamentalisme Islam”. Dalam bahasa Arab “fundamentalisme” atau “al-ushuliyah" , berarti “mendasar atau disiplin dalam menjalankan kewajiban agama”.

Dengan demikian, “muslim fundamental” adalah seorang muslim yang berhati-hati dalam menjalankan ajaran Islam, seperti shalat lima waktu secara berjama’ah, menghindari sesuatu yang tidak jelas kehalalannya. Termasuk “muslim fundamental” ini adalah para zahid, orang-orang yang menjaga diri dan agamanya dan juga para sufi.

Dalam konteks pengertian ini,
umat Islam diserukan untuk melaksanakan ajaran agamanya secara fundamental. Pengertian macam ini agak terdengar
aneh dalam konteks percakapan kita hari-hari ini.

Sedangkan “radikalisme” dalam bahasa Arab disebut “syidah al-tanatu  ”. Artinya, keras, ekslusif, berpikiran sempit, riqid,
serta memonopoli kebenaran. Muslim radikal adalah orang Islam yang berfikiran sempit, kaku dalam memahami Islam
serta bersifat eklusif dalam memandang agama-agama lainnya.

Kelompok radikal selalu ada padas setiap agama, termasuk dalam agama Islam. Dalam Islam, kelompok radikal muncul semenjak terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, menyusul kemudian Ali bin Abi Thalib yang dilakukan oleh umat Islam sendiri.

Saat itu Islam radikal diwakili oleh kelompok Khawarij.
Abdurrahman Bin Muljam, salah satu pengikut Khawarij, ialah contoh bagus tentang bahaya gairah usia muda yang tidak diimbangi dengan pemahaman keagamaan yang memadai.

Dibandingkan dengan rata-rata aktivis Islam muda di Indonesia, Abdurrahman Bin Muljam barangkali jauh lebih berkualifikasi. Ia ahli ibadah puasa di siang hari, giat menegakkan shalat malam, dan penghafal al Quran ( Shaimun nahar-Qaimul layl - hafidzul Quran  ). Tapi, siapa sangka, justru pemuda inilah yang terlibat dalam konspirasi pembunuhan
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib KW.

Pemahaman yang kurang memadai cenderung membuat pemeluk agama menjadi fanatic. Memahami jihad semata sebagai tindakan kekerasan yang dibenarkan agama sama
kelirunya dengan memahami Indonesia hanya sebatas pulau Jawa.

Pemahaman macam itu tentu saja tidak salah, hanya kurang memadai. Kata jihad kini terkesan “angker”, sarat dengan pemahaman yang serba fisik. Tetapi, istilah jihad ini pula yang akhir-akhir ini membuat nama Islam di kancah Internasional lebih mendapat sisi peyoratifnya dibanding positifnya.

Tak lain, hal ini muncul karena penyempitan makna jihad. Pemahaman seperti ini tidak-bisa-tidak perlu dikoreksi.

BELAJAR DARI KITAB I'ANATUT THOLIBIN 

Jihad berasal dari kat kerja ‘jahada’. Artinya, usaha atau upaya.
Ber-‘jihad’ adalah membangun sesuatu yang sifatnya fisik maupun non-fisik.

Sebutan lain yang berasal dari akar kata jihad ini, pertama, adalah “ijtihad”, yang berarti usaha untuk membangun sisi intelektualitas manusia, seperti ijtihad para ulama atau kiai dalam forum bahtsul masail.
Kedua, ‘mujahadah’, yang berarti upaya sungguh-sungguh membangun spiritualitas manusia.
Kemudian dalam perkembangannya, jihad mengarah pada pengertian tertentu
yang menekankan sesuatu yang sifatnya fisik dan material.

Sedangkan ijtihad dan mujahadah penekanannya pada non- fisik atau immaterial. Masing-masing dari ketiganya ini
menempati nilai dan posisi tersendiri dalam Islam. dalam tradisi kesufian misalnya, ketiga-tiganya akan bisa membawa
manusia pada tingkatan yang disebut “insan kamil” atau “manusia paripurna”.

Tapi dalam perbincangan mutakhir, kata ‘jihad’ nampaknya lebih banyak digemborkan ketimbang ijtihad dan mujahadah.
Ini diperparah lagi dengan penyempitan makna jihad sebagai tindakan fisik yang berkonotasi kekerasan, kekejaman, kebrutalan dan bahkan pertumpahan darah. Kian parah lagi,
kata jihad banyak diklaim untuk membenarkan tragedy kemanusiaan sebagai akibat dari ulah onar gerakan “Islam garis-keras”.

Disini tak hanya kata jihad itu sendiri, tapi juga
Islam, tengah mengalami korupsi pemaknaan.
Al-Qur’an menyebut kata “jihad” sebanyak 41 kali. Bersama dengan ijtihad dan mujahadah, kata jihad mengandung makna keseriusan dan kesungguh-sungguhan. Jika jihad lebih berkaitan dengan aspek fisik dan material, maka ijtihad lebih berhubungan dengan pencurahan rasio (akal) yang dilakukan oleh para mujtahid dalam menempuh prosedur penetapan hukum (istimbathul ahkam). Ijtihad juga menyangkut penemuan teori-teori baru dalam semua disiplin ilmu.

Sedangkan mujahadah lebih berkaitan dengan kesungguhan ruhani yang bersifat kontemplatif. Mujahadah umumnya
berkembang dan diajarkan dalam dunia tasawuf. Ketiga terma ini merupakan bangunan utuh yang tak bisa diceraikan dan
dipisah begitu saja.

Khususnya mengenai “jihad”, kita dapat merujuk salah satu kitab yang banyak dan umum dikaji di pesantren-pesantren.
Kitab itu berjudul I’anatut Thalibin syarh Fathul Mu’in.

Dalam berbagai kesempatan, saya kerap membahas rujukan ini bukan hanya karena implikasi maknanya, tapi juga karena kesederhanaan cara tuturnya. Dalam kitab itu disebutkan, “al- jihadu fardhlu kifayatin marratan fi kulli ‘aam”, bahwa hukum
melakukan jihad ialah fardhlu kifayah dalam setiap tahun.

Harus ada sekelompok orang yang menunaikan kewajiban ini, karena jika tidak ada seorangpun, semua komunitas muslim menanggung dosa.

Selanjutnya jihad memiliki itu ada empat macam bentuk: menurut Kang Said dalam cermahnya ( link video dibawah).

pertama, itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah SWT di muka bumi, seperti dengan melantunkan adzan, takbari
serta bermacam-macam dzikir dan wirid.

Kedua adalah iqamatu syari’atillah , menegakkan syari’at Allah (baca: nilai-
nilai agama), seperti shalat, puasa, zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan sebagainya;

Ketiga qital fi sabilillah , artinya jika ada komunitas yang mengancam keselamatan, maka perang di jalan Allah baru bisa dibenarkan; dan bentuk keempat daf’u dlararil ma’shumin , musliman kana
au dzimmiyyan , yakni mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yang harus ditanggung (oleh pemerintah) baik itu yang
muslim maupun non-muslim.

Cara pemenuhan kebutuhan
tersebut diterangkan dengan mencukupi sandang ( al-Iksa’ ),
pangan (al-Ith’am ), papan (al-iskan ), dan jaminan kesehatan
( Tsaman al-dawa’ serta Ujrah al-Tamridl ).

Dalam paparan ini terlihat jelas betapa luas cakupan dari proyek bernama “jihad” itu. Persoalan jihad yang kerap
dimaknai sekadar ”berani mati” ternyata lebih mudah. Jauh lebih sulit adalah memenuhi panggilan untuk “berani hidup”.

Dialog dua Monolog di atas kita pertama-tama telah menghampiri dua arus gejala.

Gejala pertama menyangkut peluang ekonomi, gejala kedua tentang tren radikalisasi. Kedua gejala itu sama-sama punya medan yang sama yaitu keterlibatan pemuda. Masing-masing tafsir atas dua gejala itu cenderung menyempit menjadi monolog di wilayah pembahasannya masing-masing.

Pemyempitan itu bisa kita sebut sebagai semacam monolog.
Mengapa monolog? Tak lain karena kecenderungan mengabaikan faktor dan konsekuensi yang boleh jadi punya tali-temali yang panjang. Monolog tentang “tumbuhnya kelas menengah” dan “bonus demografi” seolah tak mungkin menyentuh persoalan keagamaan. Sebaliknya, wacana tentang
radikalisme seperti tergambar dalam istilah “jihad” menjadi monolog yang kerdil, sebatas pembenaran tindak kekerasan atas nama agama.

Masing-masing pendekatan dalam dua
monolog itu punya kelemahan dan kelebihannya.
Yang pertama menawarkan kemungkinan kesejahteraan melalui ukuran-ukuran materialistic, namun cenderung abai pada bentuk-bentuk potensi “kejiwaan” manusia. Sementara yang kedua cenderung terlalu berhasrat pada pemenuhan atas ilusi
surgawai sembari lupa pada persoalan-persoalan nyata di bumi manusia.

Karena tawaran perspektif seperti tergambar dalam Kitab klasik I’anatut Thalibin itu, bagi saya, sangat menyegarkan.

Bukan saja kita perlu bertolak pada “apa yang ada” agar sebuah strategi kebudayaan bisa efektif, namun juga merintis
jalan bagi kemungkinan mentransendensikan semua pernik gejala agar kita bisa sampai pada paradigm membangun manusia yang paripurna.

Sembari mengasah kemampuan ijtihad dan mujahadah,
Pemuda Indonesia wajib untuk terus berjihad. Jihad para pemuda diperlukan untuk memastikan bahwa negeri ini punya
keunggulan spiritualitas sekaligus jaminan hidup yang berkualitas.

Jihad tak boleh padam, jihad tak boleh
disempitkan.

sumber dari video yg d transkrif dari tausiyah nya PROF DR KH Kiyai Sad Aqil Siroj MA
silahkan d simak videonya:

http://m.youtube.com/watch?v=q9RKB2zcMns

Tidak ada komentar:

Posting Komentar