Selasa, 23 Desember 2014

Mengucapkan Selamat Natal, Menurut Prof. Quraish Shihab


Dikutip dari buku 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, Quraish Shihab.

Soal:
Bolehkan kita mengucapkan salam dan atau “Selamat Natal”
kepada pemeluk Nasrani?
Jawab:
Ada hadits—antara lain diriwayatkan oleh Imam Mulis—yang
melarang seorang Muslim memulai mengucapkan salam
kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan, “Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi
dan Nasrani. Jika kamu bertemu mereka di jalan, jadikanlah
mereka terpaksa ke pinggir.”

Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut.
Dalam buku Subul as-Salam karya Muhammad bin Ismail al-
Kahlani (jil. IV, hlm. 155) antara lain dikemukakan bahwa
sebagian ulama bermadzhab Syafi’i tidak memahami larangan
tersebut dalam arti haram, sehingga mereka memperbolehkan
menyapa non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini
merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Al-Qadhi
Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan
salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh Alqamah dan al-Auza’i.

Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena agaknya larangan tersebut timbul dari sikap
permusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim. Bahkan dalam riwayat Bukhari
dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu Umar, yang menyampaikan sabda Nabi saw bahwa orang Yahudi bila
mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata,
“Assalamu’alaikum,” tetapi “Assamu’alaikum” yang berarti
“Kematian atau kecelakaan untuk Anda.”

Mengucapkan “selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak
sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus.

Sebenarna, dalam Al-Quran ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan
kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari
aku dibangkitkan hidu kembali (QS. Maryam [19]: 33).

Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama
yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi, persoalan ini
jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari
konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.

Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan
itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus. Makna
ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan “Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan
kerancuan dan kekaburan.

Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan
kesalahpahaman. Bahkan al-Quran tidak menggunakan satu
kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman,
sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak
disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika
pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai
dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai
ganti kat Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad).

Demikian wahyu pertama hingga surah al-
Ikhlas.
Nabi sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan beliau tidak sekali pun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat
yang menggunakan redaksi seperti itu, karena ia menimbulkan
kesan keberadaan Tuhan di satu tempat—suatu hal yang
mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi.

Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan
kata “ada” bagi Tuhan tetapi “wujud Tuhan”.
Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi
suci itu, memang ada di dalam Al-Quran, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran Kristen yang
keyakinannya terhadap Isa al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau
menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman
dan dapat mengantarkan kita pada pengaburan akidah. Ini
dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih,
satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam.

Dengan alasan ini, lahirlah larangan fatwa
haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai
ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas
apapun yang berkaitan atau membantu terlaksanannya
upacara Natal tidak dibenarkan.

Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan
“Selamat Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al- Quran mengaitkannya dengan ucapan Isa, “Sesungguhnya aku
ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan
aku seorang Nabi.” (QS. Maryam [19]: 30).

Nah, salahkan bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan
keyakinan itu? Bukankah al-Quran telah memberi contoh?
Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim,
Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah
setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai
hamba dan utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk Isa as, sebagaimana kita
mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul?
Tidak bolehkan kita merayakan hari lahir (natal) Isa as?
Bukankah Nabi saw juga
merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun
dengan berpuasa Asyura, sambil bersabda kepada orang- orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, “Saya
lebih wajar menyangkut Musa (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),”

maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk
berpuasa (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud), melalui Ibnu Abbas—lihat Majma; al-Fawaid, hadits ke-2.981).

Itulah, antara lain, alasan membenarkan seorang Muslim
mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.

Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan
pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih
banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur
akidahnya. Nah, kalau demikian, jika seseorang ketika
mengucapkannya tetap murni akidahnya atau
mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan
situasi di mana ia diucapkan—sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain—maka
agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seseorang membaca atau
mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an?

Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan,
al-Quran dan hadits Nabi memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan
persepsinya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh
pengucapnya, karena si pengucap sendiri mengucapkan dan
memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan persepsinya pula. Di sini, kalaupun non-Muslim memahami
ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka
biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya
mengucapkan sesuai dengan penggarisan keyakinannya.

Tidak keliru, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan mengucapkan “Selamat Natal”, bila larangan itu ditujukan
kepada yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Akan tetapi,
tidak juga salah yang membolehkannya selama pengucapnya
arif bijaksana dan tetap memelihara akidahnya, lebih-lebih
jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
Boleh jadi, pendapat ini dapat didukung dengan menganalogikannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh
beberapa ulama yang menyatakan bahwa seorang Nasrani bila
menyembelih binatang halal atas nama al-Masih, maka sembelihan tersebut boleh dimakan Muslim, baik penyebutan
tersebut diartikan sebagai permohonan shalawat dan salam
untuk beliau maupun dengan arti apa pun. Demikian dikutip al-
Biqa’i dalam tafsirnya ketika menjelaska QS. Al-An’am [6]:
121, dari kitab ar-Raudhah .

Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.
Demikian, wallahu a’lam .

*Dikutip dari buku 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui , Quraish Shihab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar